Undang-undang Cipta Kerja dan Kerja Layak!

Pengesahan UU Cipta Kerja, menjadikan situasinya lebih buruk.

Pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020, benar-benar dirasakan melukai perasaan keadilan kaum buruh. Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, menjadi pintu masuk untuk mengurangi dan melemahkan kondisi kehidupan kaum buruh. Sebut saja terkait kepastian kerja, UU Cipta Kerja menjadikan kesempatan bagi buruh untuk mendapatkan jaminan untuk diangkat menjadi pekerja permanen di perusahaan menjadi semakin sempit saja, atau bahkan hilang sama sekali.

Poster Decent Work oleh BWI

Selain isu kepastian kerja, masalah pengupahan juga menjadi isu penting yang banyak mendapatkan protes di kalangan buruh. Dalam Undang-Undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan aturan turunannya, upah diatur sedemikian rupa sehingga memberikan jaminan bagi pekerja dan serikat pekerja untuk terlibat dalam penyusunan upah, baik dalam Upah Minimum propinsi, Upah Minimum Kota/kabupaten, maupun upah sektoral dalam UMSK. Keberadaan pekerja yang diwakili dewan pengupahan, memberikan jaminan bahwa aspirasi pekerja akan tertampung. Lalu, ketika dewan pengupahan melakukan rapat untuk menetapkan besaran nilai upah pada akhir tahun, di dalamnya ada serikat pekerja yang membawa mandatdari para pekerja.

Keberadaan dewan pengupahan yang berwenang menetapkan besaran upah buruh, dianulir oleh Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Melalui PP ini, Presiden Joko Widodo kemudian mengamputasi kewenangan dewan pengupahan. Dewan pengupahan dibiarkan tetap bekerja, tapi rekomendasinya diabaikan; untuk penentuan kenaikan upah, Pemerintah (berdasarkan PP 78/2015), mendasarkannya pada pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi. Artinya, kesempatan untuk mendapatkan upah yang layak, dibuyarkan oleh pemberlakuan PP 78/2015.

Pengesahan UU Cipta Kerja, menjadikan situasinya lebih buruk. Dalam ketentuan UU cipta kerja, pemerintah kemudian menyebutkan bahwa kenaikan upah ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi atau tingkat inflasi. Ini, tentu saja akan mengurangi tingkat kesejahteraan pekerja. Perdebatan terus bergulir, seolah menegaskan berbagai manipulasi yang dilakukan pemerintah.

Penetapan UU Cipta Kerja, bagi buruh Indonesia menjadi tamparan yang paling menyakitkan. Di saat buruh sedang bersiap memperingati World Day for Decent Work atau peringatan hari kerja yang layak, justru pemerintah memberikan kado pahit untuk buruh.

Pertanyaan selanjutnya, apa yang harus dilakukan oleh serikat buruh di Indonesia ketika hak hidupnya semakin sempit? Ketika hak untuk mendapatkan kesejahteraan semakin dihimpit? Rasanya, apa yang ditunjukkan oleh gerakan buruh Indonesia dengan perlawanan menolak kelahiran UU Cipta Kerja, semakin menemukan momentumnya. Ini artinya, perlawanan terhadap UU Cipta Kerja, harus terus dilakukan demi mendekatkan kehidupan pekerja pada kehidupan dan kondisi kerja yang lebih layak.

Mari, kita perjuangkan dengan sehormat-hormatnya!