“Kerja Kontrak dan Outsourcing Dalam Sejarah Indonesia”

 


Sistem kerja kontrak dan outsourcing telah menjadi momok bagi buruh di Indonesia sejak diketukanya Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Pemberlakukan peraturan ini telah melegalkan sistem ketenagakerjaan tersebut, yang sampai saat ini atau hampir 13 tahun lamanya menjadi mimpi buruk dari kelas buruh.

Sistem ini tak hanya diterapkan untuk para buruh yang bekerja di pabrik-pabrik, namun juga diaplikasikan pada buruh-buruh kantoran. Paling kurang terdapat 16 pasal pada Bab Hubungan Kerja yang termaktub dalam UU Ketenagakerjaan, dimana secara detail mengatur tentang sistem kerja kontrak-outsourcing atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Jika penolakan sistem kerja kontrak dan outsourcing begitu marak dan terus disuarakan, maka pastilah ada sesuatu yang salah dan merugikan bagi kaum buruh. Semisal soal ketidakpastian kerja, tidak mendapat pesangon setelah usai kontrak, pemotongan upah oleh perusahaan outsourching, pemutusan kontrak secara sepihak oleh perusahaan dan lain sebagainya.

Memang jika ditelisik, sistem ini mulai diberlaku secara luas usai UU Ketenagakerjaan berlaku, namun penyebab adanya peraturan tersebut dimulai dari sebuah konsepsi tentang pasar bebas atau biasa dikenal dengan globalisasi atau juga neoliberalisme.

Konsensus Washington pada tahun 1989 menelurkan sebuah kesepakatan kebijakan dunia tentang liberalisasi, deregulasi dan privatisasi. Negara-negara besar memaksakan kebijakan tersebut untuk diberlakukan di negara-negara berkembang dengan menggunakan tangan-tangan lembaganya yaitu International Monetary Found (IMF), World Bank (WB) dan World Trade Organization (WTO).

Dalam konteks liberalisasi, bukan hanya saja pasar yang dibuka seluas-luasnya, namun juga pasar tenaga kerja yang dibuat fleksibel dalam konsep Labour Market Flexibility (LMF). Konsepsi ini diimplementasikan dalam bentuk penerapan sistem tenaga kerja kontrak dan outsourcing.

Konsep ini sebenarnya merupakan praktek lama pada masa kolonial yang dihidupkan kembali. Pada masa penjajahan, konsep ini tak hanya terjadi di Indonesia, namun juga dibelahan negara lain yang dijajah oleh negara-negara barat.

Di Indonesia sendiri, praktek tenaga kerja kontrak dan outsourcing mulai diterapkan paska sistem tanam paksa pada kisaran tahun 1830 sampai 1870. Yang ditandai dengan mulai dibukanya perkebunan-perkebunan di Indonesia oleh Belanda guna memenuhi kebutuhan dagang mereka.

Perkebunan Tebu, Kopi atau Tembakau yang dibuka oleh Belanda dapat dikatakan sebagai perusahaan modern pertama yang menerapkan sistem kontrak-outsourching. Kebijakan tentang ketenagakerjaan itu diatur oleh pemerintah Hindia Belanda melalui Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda No. 138 tentang Koeli Ordonantie.

Koeli Ordonantie adalah sebuah peraturan yang awalnya dibuat khusus untuk wilayah perkebunan di Sumatera Timur, namun kemudian diberlakukan untuk seluruh wilayah Nusantara. Peraturan ini dibuat untuk memberikan jaminan kepada majikan terhadap buruhnya jika mengalami masalah seelum masa kontrak habis. Dalam aturan tersebut juga termuat hukuman badan seperti kurungan atau pukulan jika buruh melanggar.

Penerapan aturan tersebut sengaja dibuat untuk mendorong iklim investasi dan pembukaan lapangan kerja bagi orang miskin. Sebuah dalil yang persis sama ketika dibuatnya Konsensus Washington.

Untuk memenuhi kebutuhan pasokan tenaga kerja pada perkebunana tembakau di Deli, Sumatera, pemerintah Hindia Belanda membuat sebuah lembaga yang bernama Deli Planters Vereeniging. Lembaga ini mempunyai fungsi dan tugas untuk melakukan perekrutan tenaga kerja yang murah untuk dikontrak (contractanten) bekerja di perkebunan tembakau, Deli.

Awal mulanya suply buruh kontrak (Koeli Ordonantie) tersebut didatangkan dari Penang-Malaysia dan Singapura. Mereka pada umumnya adalah orang-orang China yang berada di sana. Selain itu juga secara besar-besaran didatangkan buruh-buruh murah dari Jawa. Walau pada akhirnya suply buruh yang berasal dari etnis China tak bertahan lama tak bertahan lama karena biaya transportasi yang telampau besar.

Bentuk dan praktek perekrutannya adalah kerjasama antara Deli Planters Vereeniging dengan kepala desa dan para calo tenaga kerja di Jawa. Mereka kemudian dibawa ke Jakarta, pada saat itu masih disebut Batavia, untuk menandatangani perjanjian kontrak kerja.

Para buruh (koeli) yang bekerja di perkebunan tersebut diawasi secara ketat oleh mandor yang dalam struktur kerja pada saat itu, para mandor juga diawasi oleh kepala mandor. Pada mandor mendapatkan upah sebesar 7,5% dari hasil kelompok buruh yang diawasinya. Tugas mereka adalah mendisiplinkan kerja para buruh. (Dalam konteks industri kekinian mungkin dapat disebut sebagai supervisior).

Bukan hanya para mandor yang mengambil nilai lebih dari kerja yang dilakukan oleh buruh, para calo tenaga kerja yang bekerjasama dengan Deli Planters Vereeniging juga ikut serta menghisap para buruh. Biaya transportasi pengiriman mereka dari Jawa ke Deli, biaya makan, pengobatan, tempat tinggal dianggap sebagai sebuah hutang oleh para calo. Sehingga upah dari kerja yang didapat oleh para buruh praktis habis untuk membayar hutang. Dan pada umumnya mereka baru dapat melunasi hutang-hutang tersebut setelah bekerja selama lebih dari 3 tahun.

Gambaran dan contoh tersebut di atas sebenarnya tak jauh berbeda dengan praktek yang saat ini terjadi dalam dunia perburuhan. Para lembaga outsourching juga mengambil prosentase dari setiap upah yang didapat oleh buruh. Sementara upah dari seorang buruh juga akan habis dalam satu bulan untuk kebutuhan transportasi, makan, pengobatan, tempat tinggal dan kebutuhan dasar lainnya. (gum)


Daftar Referensi:

http://indoprogress.com/2013/05/kerja-kontrak-outsourcing-warisan-kolonial/

https://breath4justice.wordpress.com/2012/01/09/sejarah-outsourcing/#_ftn1

https://www.selasar.com/budaya/budak-kuli-dan-buruh-pelajaran-dari-sejarah

http://gego.blogs.unhas.ac.id/2010/08/19/washington-consensus-post-washington-consensus-dan-pengaruhnya-di-indonesia/