Memperkuat Serikat Buruh Regional dengan Solidaritas



BWI Multi-National Companies (MNCs) Network Meeting

Kuala Lumpur, 28-30 Agustus 2018.

Perusahaan Multi Nasional atau yang biasa dikenal dengan sebutan MNC, menguasai Asia Pasifik. Pertumbuhannya bak cendawan di musim hujan, menandakan perlipatan modal yang juga besar. Konsekuensi logis dari menjamurnya perusahaan tersebut adalah terabaikannya hak buruh alias “defisit pekerjaan yang layak”. Pelanggaran meliputi jaminan sosial, transfer keahlian yang terbatas, standar kesehatan dan keselamatan diabaikan, serikat buruh diberangus, dan undang-undang ketenagakerjaan nasional diabaikan.

Ironisnya, perusahaan besar dan semua pemasoknya justru menjadi pelopor atas pelanggaran tersebut. Sebagaimana dilaporkan majalah The Economist, disebutkan MNC “hanya mempekerjakan satu dari 50 pekerja di dunia, mengkoordinasikan rantai pasokan yang mencakup lebih dari 50% dari semua perdagangan, menyumbang sepertiga dari nilai pasar saham dunia, dan mereka menguasai bagian terbesar dari kekayaan intelektualnya, mulai dari desain pakaian dalam hingga perangkat lunak realitas maya dan obat diabetes.”

Dalam sesi pengantar Pertemuan Jaringan Perusahaan Multi-Nasional BWI di Kuala Lumpur, 28-29 Agustus 2018, Koordinator Regional Building and Woodworkers’ International (BWI), Dong Tolentino menyebutkan bahwa perusahaan multinasional yang menyatakan komitmen terhadap standar ketenagakerjaan internasional dan bahkan menandatangani sistem kompaksi dan sertifikasi internasional bahkan merasa bersalah atas impunitas dalam perilaku perusahaan. Pernyataan Dong, sejalan dengan dokumen Rencana Strategis  BWI untuk jangka waktu 2018-2021.

Sementara, pelanggaran lain juga marak terjadi, salah satunya adalah penggunaan pekerja anak. Buruh anak mengalami kondisi seperti budak dalam proyek-proyek besar. MNC telah melanggar hak dengan impunitas di banyak negara di seluruh dunia. Kebutuhan untuk meminta pertanggungjawaban mereka membutuhkan urgensi karena semakin banyak pelanggaran yang mendapatkan perhatian dan pada saat yang sama mekanisme pengaduan oleh OECD hanya memiliki 3% kasus dari industri konstruksi.

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) Indonesia menjelaskan bahwa perusahaan konstruksi, termasuk di dalamnya perusahaan semen yang dibiayai oleh korporasi dunia telah melakukan pelanggaran serius terkait hak-hak buruh. Pelanggaran tersebut meliputi hak berserikat, upah, jam kerja, sistem kerja kontrak, jaminan sosial, dan masalh lingkungan. “Buruh-buruh kontrak di pabrik Semen di Karawang,Sukabumi, Banten yang bergabung dengan serikat buruh mengalami ancaman PHK dengan dalih kontrak habis.” Ujar Khamid.

BWI melihat bahwa permasalahan ini menjadi tantangan serius yang harus dihadapi dengan perencanaan matang dan mengajak seluruh afiliasi terlibat. Salah satu strateginya adalah dengan melakukan negosiasi bernegosiasi dengan perusahaan multinasional. Pilihan ini merupakan salah satu dari 10 prioritas utama BWI. Dalam mewujudkan tujuan ini, BWI telah menggunakan beberapa langkah seperti memulai dan menandatangani Perjanjian Internasional (IFA) dan membangun Jaringan Global Serikat Buruh yang bekerja di perusahaan multinasional Cina. BWI menjadikan pembentukan jaringan MNC sangat penting untuk memastikan hak-hak buruh serta memfasilitasi berbagai bentuk solidaritas, terutama di antara kelompok negara-negara Asia untuk berkampanye melawan pelanggaran hak-hak buruh di perusahaan multinasional Asia.

Dong menjelaskan lebih lanjut bahwa pengalaman afiliasi di Pakistan dalam menandatangani kesepakatan bersama di Neelam Jhelum Hydropower Project yang berada di bawah konsorsium Perusahaan China. “Apa yang terjadi di Pakistan adalah studi kasus dalam merebut hak untuk berunding bersama dan bersatu di perusahaan multinasional China.” Jelas Dong.

Pertemuan regional jaringan MNC yang diselenggarakan oleh Regional BWI Asia Pasifik juga akan mendokumentasikan dan memantau peran penyaluran modal yang digelontorkan perbankan swasta yang membiayai proyek-proyek tersebut.