Debu Batubara Meracuni dan Merusak Kesehatan Masyarakat

(Menyoal dampak Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup)

Oleh: Khamid Istakhori*

28 April 2021, dunia sedang memperingati International Workers’ Memorial Day (IWMD), sebuah hari untuk mengenang pekerja-pekerja di seluruh dunia yang meninggal di tempat kerja dan mereka yang pengalami penyakit akibat kerja (PAK). Peringatan tersebut, juga dikenal sebagai Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja Sedunia. Seruan terpenting dari peringatan ini adalah untuk mengingatkan bahwa tempat kerja, tempat para pekerja mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan upah, sangat tidak aman. Pada 2016, berdasarkan data yang dirilis oleh BPJS menyebutkan bahwa rata-rata, 98,000-100,000 kasus kecelakaan kerja setiap tahun, 2.400 pekerja meninggal and 40% cacat. Sektor paling mematikan: Konstruksi(31.9%), Manufaktur (31.6%), transportasi (9.1%). Pelindungan terhadap pekerja yang sangat rentan, salah satunya disebabkan regulasi yang tidak berpihak, misalnya saja desakan untuk segera merevisi Undang-Undang 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan kerja hilang tanpa bekas. Harapan tersebut semakin jauh dan menghilang, seiring pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) Omnibus Law yang lebih berpihak pada kepentingan investasi. UUCK membuka peluang penerbitan berbagai aturan pelaksana yang semakin mengabaikan nasih pekerja, terutama berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja mereka.

Setelah pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law (UUCK), Presiden Joko Widodo memberlakukan aturan turunan berupa Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PP). Secara resmi, PP ini menghapus limbah debu batubara (fly ash dan botton ash/FABA) dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Meskipun mendapatkan protes secara luas dari kalangan masyarakat sipil, pegiat lingkungan hidup, serikat buruh, dan akademisi, Presiden Jokowi enggan mencabut PP ini. Protes yang dilancarkan oleh kalangan sipil berfokus pada kekhawatiran bahwa PP ini sedang mempertaruhkan kesehatan masyarakat dan transisi energi terbarukan di Indonesia.

Penerbitan PP ini, setidaknya mengonfirmasi kemarahan publik sejak setahun lampau atas pengesahan UUCK yang dinilai hanya pro-investasi. Pencabutan FABA dari daftar limbah B3 merupakan bukti bahwa negara memberikan kemudahan dan keuntungan berlimpah untuk kepentingan korporasi. Koordinator Bidang Politik Walhi Nasional Khalisah Khalid, menyebutkan bahwa PP ini merupakan kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh negara. Pemerintah dinilai hanya melakukan perhitungan berdasarkan kepentingan investasi ketika menerbitkan regulasi ini dan mengabaikan kepentingan masa depan yang lebih besar, yakni kesehatan masyarakat dan transisi energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Dampak buruk terhadap kesehatan di masa mendatang, sama sekali diabaikan pemerintah ketika regulasi ini diterbitkan.

Debu batubara, utamanya yang berasal dari PLTU di pesisir pantai, akan mengancam ekosistem perairan yang akan dikonsumsi manusia. Karena bahan pangan laut terpapar debu batubara, ke depan akan berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat. Berbagai penyakit yang disebabkan limbah B3 akan semakin mudah menjangkiti manusia, misalnya saja paru-paru dan kanker. Perempuan dan anak-anak, merupakan kelompok paling rentan yang akan terdampak. 

Penerbitan PP juga secara otomatis akan mengurangi peluang pemidanaan terhadap pengelolaan limbah yang dilakukan secara serampangan. Dalam aturan sebelumnya, pelanggar pengelolaan limbah B3 bisa kena sanksi pidana. Dengan penghapusan FABA dari daftar limbah B3, potensi pelanggaran oleh perusahaan semakin besar dan mereka akan semakin sulit dipidanakan. 

Kebijakan kontroversial ini, sangat erat kaitannya dengan permintaan dunia industri yang dipermudah jalannya pasca pengesahan UUCK. Beberapa asosiasi industri batubara seperti Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI), Asosiasi Penyedia Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengedepnkan argumen bahwa pengelolaan limbah batubara sebagai B3 lebih mahal dibanding kalau tidak termasuk B3. Artinya, kebijakan ini lahir sebagai upaya mengakomodir kepentingan pengusaha; menimbun keuntungan berlipat untuk korporasi dengan mengabaikan kesehatan masyarakat secara luas. Kebijakan ini, tentu saja berat sebelah dengan menempatkan rakyat pada posisi yang sulit dan terpojok.

Selain itu, dapat dikatakan bahwa PP ini merupakan kemunduran yang luar biasa karena lahir demi merespon kepentingan dunia industri yang terus menerus menekan pemerintah dalam satu dasa warsa, termasuk di dalamnya terjasinya revisi UU Minerba hingga pengesahan UUCK dan kini, peraturan pelaksana yang semakin turun kualitasnya. Dampak kesehatan yang buruk bagi masyarakat oleh paparan debu batubara semakin besar bagi masyarakat, terlebih dalam situasi pandemi Covid-19. Karena aturan soal batubara semakin lemah, pencemaran udara dari FABA mengancam masyarakat hingga pada gilirannya potensi masyarakat terkena Covid-19 semakin besar. 

Andri Prasetiyo, peneliti dan pengkampanye Trend Asia, menyebutkan bahwa lahirnya PP ini merupakan satu paket kebijakan pemerintah yang dirancang secara sistematis untuk memberikan karpet merah bagi bagi industri energi kotor batubara mulai dari hulu hingga ke hilir. “Dimulai dari revisi UU Minerba, UU Cipta Kerja, proyek hilirisasi batubara yang berusaha membajak RUU Energi Baru dan Terbarukan, ujungnya sekarang lahir regulasi penghapusan FABA dari daftar limbah B3,” tegas Presetiyo.

Mendapatkan kritik dan protes secara luas dari masyarakat, Pemerintah kemudian memberikan klarifikasi atas penghapusan FABA dari daftar limbah B3 yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22/2021. Melalui Direktur Jenderal PSLB3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati, pemerintah membantah bahwa tidak benar kalau semua limbah batubara keluar dari limbah B3. Menurutnya, yang dikeluarkan dari daftar limbah B3 menjadi non B3 hanya untuk yang menggunakan sistem pembakaran pulverized coal boiler atau chain grate stoker. Pemerintah menolak anggapan bahwa kebijakan ini lahir karena desakan dunia industri. 

Selanjutnya, Vivien menjelaskan bahwa pada batubara yang digunakan untuk pembakaran di PLTU menggunakan sistem pembakaran suhu tinggi, sehingga FABA yang dihasilkan minimum dan lebih stabil saat disimpan. Hal ini yang menyebabkan FABA dan coal combustion products (CCP) bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, substitusi semen, jalan, tambang bawah tanah (underground mining), serta restorasi tambang. Sedangkan,  industri yang masih menggunakan stoker boiler atau tungku industri, kategori limbah masih B3 dengan kode limbah B409 untuk fly ash dan B410 untuk bottom ash. Limbah ini masih sebagai limbah B3 karena teknologi masih belum memenuhi syarat dimana pembakaran masih pakai temperatur rendah mengindikasikan pembakaran yang tak sempurna dan tak stabil saat disimpan. Vivien menegaskan bahwa meskipun PP ini menghapus debu batubara dari daftar limbah B3, pemerintah mensyaratkan prosedur yang sangat ketat untuk dunia industri. Meski FABA dengan menggunakan sistem pulverized coal boiler tidak masuk dalam limbah B3, pelaku industri harus memenuhi standar dan persyaratan teknis yang ditetapkan dan tercantum dalam persetujuan dokumen lingkungan. Dia sebutkan soal persyaratan teknis dan tata cara penimbunan FABA, persyaratan teknis dan standar pemanfaatan FABA. Dengan begitu, precautionary principle untuk perlindungan lingkungan tetap menjadi kewajiban penghasil atau pengelola limbah.

Berdasarkan data KLHK, ada 43 pembangkit PLTU, baik milik PLN atau swasta yang tersebar di Indonesia. Antara lain, 13 unit di Sumatera, Jawa (13), Kalimantan (6), Sulawesi (5), Nusa Tenggara (1) dan Papua (1). Dari 43 unit itu, enam masih menggunakan stoker boiler. Data KLHK, total produksi FABA tahun 2020 mencapai 2.938.658,58 ton. Berdasarkan data BPPT dalam pembahasan pengelolaan FABA bersama PLN, pada Juni 2020 lalu menyebutkan, timbunan FABA cukup tinggi hingga 5 juta ton lebih per tahun.

Kepala Badan Pengkajian lan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza dalam siaran persnya menyebutkan bahwa jika dibiarkan dapat berisiko tinggi terjadi bencana seperti yang pernah terjadi di Amerika ketika tanggul penampungan FABA rusak hingga FABA tumpah ke sungai berujung pada bencana banjir akibat terjadi pendangkalan sungai.

Namun, terlepas dari polemik yang terjadi di antara berbagai stakeholder terkait kontrovesi lahirnya PP baru tersebut, pada gilirannya masyarakatlah yang akan merasakan dampak buruknya. Dikutip dari bbc.com disebutkan bahwa banyak warga yang tempat tinggalnya dekat dengan PLTU mengalami gangguan kesehatan yang serius. Sebut saja yang dialami oleh Edy, warga Cilegon yang rumahnya dekat dengan PLTU Suralaya. Menurut Edy, dampak debu batubara tidak instan seperti orang makan cabe yang terasa pedas saat digigit. “Debu batubara yang terhisap manusia, baru akan terasa dampaknya setahun dua tahun berikutnya. Penyakitnya baru akan terdeteksi beberapa tahun berikutnya,” ujar Edy.

Dalam kajian yang disampaikan oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) disebutkan bahwa FABA memiliki dampak buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan karena mengandung arsenik, merkuri, kromium, timbal dan logam berat lainnya. Ahli kesehatan paru juga menyebut abu batubara dapat menyebabkan penyakit disebut coal workers pneumoconiosis yang beresiko menimbulkan kematian.

Jakarta, 28 April 2021

***

*Penulis adalah Ketua Departemen Pendidikan dan Penelitian Federasi SERBUK Indonesia