Bukan Lopa, Bukan Hoegeng, Tapi Pak Rozak!

Oleh: Khamid Istakhori*

Sepanjang Agustus-September, selama 30 hari saya berkesempatan mengadakan perjalanan ke Muara Enim, Sumatera Selatan. Di kota itu, saya bertemu dengan anggota Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) dari beberapa perusahaan. Mereka, bekerja di perusahaan pengangkutan kayu untuk pabrik kertas besar pasar eksport, buruh-buruh konstruksi pembangunan PLTU, dan penambangan batu bara. Selama sebulan, saya menemui mereka; di rumah-rumah mereka, di sekre, di kebun karet tempat mereka bergulat dengan nasib ketika tak kerja di perusahaan, atau di kedai-kedai kopi. 

Selain memberikan advokasi untuk kasus-kasus perburuhan yang memang sangat marak, saya juga mengagendakan pendidikan keserikatburuhan. Pendidikan dengan tema-tema keserikatburuhan, menjadi dasar penting bagi pekerja di perusahaan untuk mengetahui hak-hak dasar mereka. Cara ini, menurut saya, paling efektif untuk mengubah paradigma hubungan kerja yang selama ini jomplang. Jomplang, adalah istilah bahasa Jawa yang artinya tidak seimbang, berat sebelah, sehingga tidak ada kesetaraan. Setara? Rasanya kata asing yang tak dikenal di sana, di rumah-rumah buruh itu.

Selama ini, mereka berpikir sederhana saja. Berterima kasihlah sudah mendapatkan kerja, ketika di luar sana orang-orang mengantri untuk mencari kerja. Bersyukurlah sudah punya pekerjaan, ketika orang-orang terPHK tanpa jaminan hak apapun. Tapi benarkah pendapat itu?


30 Agustus 2020, saya sengaja merancang sebuah pendidikan keserikatburuhan yang berbeda. Bukan sekedar membahas hitungan upah, jumlah jam kerja, atau seragam kerja yang seharusnya menjadi hak mereka. Saya, memperkenalkan tema diskusi ringan tapi berat bernama integritas. Ringan karena memang mudah saja diucapkannya, tapi sangat berat kami membahasnya.

Saya memulainya dengan pertanyaan sederhana: apakah integritas itu? Peserta mengalami kesulitan menjelaskannya. Rupanya, ini merupakan kata asing yang jarang atau bahkan tak mereka pahami. Saya memancingnya dengan beberapa contoh kecil. Saya bertanya,” Apakah ada yang pernah mengalami PHK di tempat kerja sebelumnya? Sebelum bekerja di perusahaan yang sekarang?” Beberapa mengiyakan, artinya pernah diPHK dan saya meminta mereka untuk bercerita. Menyedihkan! Rata-rata, saya mendengar cerita yang kurang bahagia. 

“Saya dipecat dari pabrik lama, tanpa pesangon. Serikat yang ada tidak membela saya,” ujar Arisal.

Lain lagi cerita Lisma. “Saya diPHK, tapi pesangon yang menjadi hak saya tidak utuh. Berkurang dari jumlah yang seharusnya,” keluhnya.

Cerita-cerita lain, tak berbeda jauh dari kesedihan-kesedihan serupa. Dari cerita-cerita itu, saya mulai mengajak mereka menemukan puzzle yang terberai tak beraturan. Potongan-potongan yang selama ini akrab tapi sangat sulit mereka indentifikasi sebagai kenyataan.

Dari slide demi slide yang saya tampilkan, akhirnya saya bahagia ketika beberapa peserta menemukan benang merah yang selama ini tersembunyi. Satu per satu, peserta mulai berani berbicara, mengemukakan pendapat. Mereka akhirnya berkata, serikat buruh adalah kuncinya. Pengurus serikat buruh adalah faktornya. Ya, saya mendapatkan cerita bahwa beberapa di antara mereka kehilangan hak bukan semata-mata perusahaan tidak bersedia membayarkannya, tapi faktor lain yang: pengurus serikat buruh yang tidak amanah.Terkait integritas, kami menemukan kesimpulan sederhana yang benar-benar berasal dari temuan-temuan peserta selama pendidikan berlangsung. “Integritas itu satu. Satu pikiran, satu perkataan, satu perbuatan. Konsistensi,” ujar Tajudin Ketua Serikat unjuk suara. 

Dari cerita-cerita itu, saya tahu. Beberapa di antara mereka kehilangan hak-haknya bukan semata perusahaan melanggar, tapi karena pengurus serikat buruh yang mereka percaya, mewakili dalam perundingan menyembunyikan banyak fakta. Misalnya saja, perusahaan tidak bersedia membayar pesangon sesuai perhitungan undang-undang dan menjanjikan uang lebih untuk para pengurus. Tugas pengurus? Memanipulasi hitungan pesangon kepada anggotanya. Pada titik ini, peserta mampu menyimpulkan, apa itu integritas, lengkap dengan contoh nyata dalam pengalaman mereka. 

Pada sesi berikutnya, saya mencoba membuka slide demi slide. Saya mengajak mereka mengenali wajah-wajah yang selama ini selalu jadi andalan dalam penyuluhan antikorupsi. Muncul wajah Pak Baharuddin Lopa, pendekar hukum kelahiran Pambusuang, Balanipa, Polewali Mandar, Indonesia, 27 Agustus 1935 dan meninggal di Riyadh, Arab Saudi, 3 Juli 2001 pada umur 65 tahun, merupakan sosok Jaksa Agung yang pemberani. Keberaniannya melawan korupsi menjadi teladan di Indonesia. 

“Apakah ada yang mengenal Baharuddin Lopa?”

Kelas sepi. Menandakan tak ada jawaban. Tak ada satu pun yang mengenali tokoh hebat ini. 

Lalu, saya klik slide berikutnya. Saya tampilkan wajah Letnan Jenderal Polisi (Purn.) Drs. Hoegeng Imam Santoso (lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 14 Oktober 1921 – meninggal di Jakarta, 14 Juli 2004 pada umur 82 tahun) adalah salah satu tokoh kepolisian Indonesia yang pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ke-5. Kapolri yang sangat bersahaja.

“Bagaimana dengan Jenderal Hoegeng?”

Kembali sepi. Tak seorang pun mengetahuinya. Bahkan, ketika saya membacakan anekdot terkenal dari Gus Dur tentang tiga polisi yang paling jujur yakni patung polisi, polisi tidur, dan polisi Hoegeng…

Saya hampir kehabisan akal. Bagaimana menjelaskan tentang tokoh berintegritas kepada peserta pendidikan yang sebenarnya jumlahnya tidak terlalu banyak ini. Sampai akhirnya, mata saya tertuju pada pak Rozak. Lelaki sepuh yang sedari awal ikut duduk melingkar bersama kami. Pak Rozak adalah pemilik rumah yang kami gunakan untuk sekretariat serikat. Semenjak istrinya meninggal, rumah besar itu, ditempatinya bersama Juni Teriogo, anak lelakinya yang juga salah satu penggerak serikat di PLTU itu. 

Saya meminta Pak Rozak lebih mendekat di tengah lingkaran peserta. Wajahnya masih kebingungan. Saya melakukan upaya kontinjensi. Satu dua action untuk menyelamatkan kondisi. Saya teringat bagaimana fasilitator saat Diklat, Master Haeli melakukan ini ketika tiba-tiba, rekaman penyuluhan yang kami lakukan tiba-tiba hilang karena gangguan pada laptop. Berhasil. Semacam Plan B, Plan C….

Masih terlihat bingung, saya melontarkan pertanyaan pada pak Rozak. “Bagaimana kesan Pak Rozak terhadap kawan-kawan serikat yang setiap hari beraktivitas di rumah ini?”

Dengan lancar, Pak Rozak bercerita tentang kebahagaiaannya karena sekarang rumahnya tidak sepi lagi. “Saya menyukai pengurus serikat. Mereka muda, bersemangat, terus berjuang, dan tidak mengenal lelah dalam membantu kawan-kawan lain,” ujar Pak Rozak. Menurut cerita pak Rozak, pengurus serikat yang pemberani dan jujur itu, telah memberikan harapan baginya bahwa ternyata banyak orang baik di sekitarnya. “Saya tahu mereka kesusahan, tapi tak pernah saya mendengar keluhan mereka,” lanjutnya. 

Lalu, saya menanyakan aktivitas keseharian pak Rozak. Dengan senang hati, beliau bercerita tentang aktivitasnya menyadap karet di kebun belakang rumahnya yang terdiri dari sekitar 1200 pohon. “Setiap malam, pada lepas tengah malam, jam 1, saya berangkat ke kebun untuk menyadap karet. Baru pada selepas Subuh saya pulang untuk istirahat,” ceritanya penuh semangat. Dedikasinya tidak perlu diragukan. Kedisiplinannya juga pantas diteladani. Dalam usia yang sudah beranjak senja, tak mengeluh dan tak mau menggantungkan hidupnya pada orang lain, meskipun  anak-anaknya berkali meminta untuk berhenti menyadap karet pada tengah malam, dengan alasan kesehatan. Harga karet yang semakin menurun, dikumpulkannya untuk kehidupan sehari-hari.

Kelas terdiam. Peserta seperti larut dalam cerita pak Rozak. Lalu, saya bertanya pada mereka, apa pelajaran penting dari cerita Pak Rozak? Satu dua peserta berkomentar. Mereka, selama ini hanya tahu Pak Rozak keluar pada tengah malam untuk berangkat menyadap karet di kebun. Tapi, tak pernah aktivitas itu mereka sadari sebagai sebuah keteladanan. 

Saya menutup cerita itu, dengan beberapa kesimpulan kecil, tentang INTEGRITAS. Integritas, orang-orang yang hidup dengan integritas, sepi dari dunia luar yang gemerlap. Integritas, bukan selebritas di televisi dan media-media, tapi sesuatu yang hidup, tumbuh, berkembang, dan menjadi panduan hidup bagi banyak orang, bahkan di pelosok desa yang sangat jauh.

Saya tahu, peserta pendidikan itu, anak-anak muda yang pemberani itu, kini punya role model yang baru. Bekal itu, saya yakin akan membekas dalam perjalanan mereka kelak, ketika suatu saat memimpin serikat yang lebih besar. 

Terima kasih Pak Rozak!


*Penulis adalah Ketua Departemen Pendidikan dan Penelitian Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) Indonesia

(tulisan ini terbit di website pertama kali pada September 2020 dan diposting ulang untuk tujuan pendidikan antikorupsi bagi anggota SERBUK)