OS PLN Geger Geden

Sejak pemerintah Joko Widodo meluncurkan program “35 ribu mega watt untuk Indonesia” pada tanggal 4 Mei 2015, keuangan PT. PLN (Persero) terus mengalami kemorosotan. Akibat terus memburuk di tahun 2017 menteri keuangan Sri Mulyani mengirim “Surat peringatan” kepada PLN dan itu menjadi keramian, karena bocor ke publik. Surat ini menyoroti Performa keuangan PLN dalam tiga tahun terakhir (2015-2017) yang terus mengalami penurunan sejak mendapatkan tugas dari pemerintah untuk mendukung program listrik 35.000 MW. Sorotan Sri Mulyani terkait nilai kewajiban pembayaran pokok dan bunga pinjaman PLN yang terus membesar, tapi tidak didukung oleh pertumbuhan kas operasi.

Program ini memang mendapat kritik dari banyak kalangan, dari pengamat energi, aktivis lingkungan, bahkan dari kalangan pemerintah sendiri. Yang paling heboh tentu saja adalah kritik dari Rizal Ramli, yang waktu itu sedang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Maritim, dengan mengatakan, target pembangunan mega proyek tersebut tidak realistis. Atas tindakannya mengritik program pemerintah ini Rizal Ramli harus menerima didepak dari kabinet, setelah bersitegang dengan Jusuf Kalla, Wakil Presiden kala itu. 

Mengutip dari Law-Justice, persoalan utama yang menyebabkan amburadulnya keuangan PLN adalah tata kelola keuangan pembangunan infrastruktur PLTU dalam rangka pembangunan proyek 35 ribu mega watt. Proyek ambisius Presiden Joko Widodo ini membuat PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero) pada akhir 2020 terlilit utang hingga mencapai Rp 697 triliun. 

Buruh outsorcing PLN menjadi korban 

Pada akhir 2019, direksi PT. PLN (Persero) yang dipimpin oleh Pelaksana Tugas Direktur Utama Sripeni Inten Cahyani mengeluarkan Peraturan Direksi No. 0219, yang merupakan perubahan kedua atas Keputusan Direksi PT. PLN No. 500 tahun 2013 tentang penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain di lingkungan PT. PLN (Persero). Dalam pertimbangannya di huruf  ‘b’ peraturan yang terkenal dengan Perdir 219 ini mengatakan, “bahwa ketentuan terkait perhitungan upah tetap pekerja dalam Keputusan Direksi sebagaimana dimaksud pada huruf a menggunakan formula koefisien dan tunjangan masa kerja (pola prosentase) dengan mengikuti perubahan upah minimum kota/propinsi, sehingga mengakibatkan peningkatan biaya pengelolaan pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan pemborongan pekerjaan setiap tahunnya lebih dari prosentasi pertumbuhan pendapatan PT PLN (Persero).” Jelas sekali, Perdir 219 ini bertujuan untuk melakukan efisiensi dengan memotong pendapatan buruh Outsorcing di lingkungan PT. PLN (Persero). Tentu saja ini tindakan ini sewenang-wenang, dengan mengabaikan fakta bahwa memburuknya keuangan PT. PLN disebabkan oleh Mega Proyek 35 ribu mega watt, dan bukan karena membayar upah buruh Outsorcing.

Implikasi di lapangan, tahun ini para buruh Outsorcing PLN tidak mendapat Tunjangan Hari Raya seperti hitungan tahun-tahun sebelumnya. Jika tahun-tahun sebelumnya, para pekerja yang bekerja di Gardu Induk dan Pelayanan Teknik PLN ini mendapatkan THR dengan perhitungan sebesar satu kali upah pokok satu bulan, yaitu Upah Minimum Kota [UMK] ditambah koefisien 10-20% dari UMK. Setelah keluar Peraturan Direksi No. 0219 tahun 2019, koefisien yang menjadi bagian dari upah pokok hilang, diganti dengan tunjangan masa kerja, yang itu berakibat pada merosotnya nilai THR. 

Sebagai contoh, pekerja A di ULP. Banjarnegara UP 3 Purwokerto, bagian pelaksana, jika merujuk aturan yang lama, mestinya THRnya adalah 3.184.000, namun setelah diberlakukannya Perdir 219, pekerja A ini sekarang hanya mendapatkan THR sebesar  1.805.000, ada selisih sebesar 1.379.000.

Pemberlakuan Perdir 219 memicu protes di banyak tempat, di lingkungan UP3 Yogyakarta pekerja pelayanan teknik menggalang tanda tangan penolakan kebijakan yang berimplikasi pada menurunnya THR yang diterima. Di Jakarta, para pekerja pelayanan teknik dan petugas gardu induk yang bergabung dalam SPEE-FSPMI mengancam akan mogok kerja, jika kekurangan THR tidak dibayarkan. Juga di Semarang, Federasi Serikat Pekerja Listrik Nasional (FSPLN) melaporkan kekurangan THR ini ke dinas tenaga kerja. Melalui sambungan telepon dari Solo, Tri Joko Susilo, Sekretaris SPLAS-SERBUK Solo Raya yang juga menjadi Koordinator Aliansi Gabungan Serikat Buruh Kelistrikan (Aliansi GEBUK Jateng-DIY) meminta direksi PLN untuk membatalkan Perdir 219, karena sumber masalah keuangan di PT. PLN bulan upah pekerja Outsorcing, “Perdir 219 seperti orang sakit liver tapi diberi obat sakit kepala, livernya semakin parah sedang organ yang lainnya juga.” Terang Tri Joko. Selain membuat berkurangnya nominal THR, Perdir 219 juga berpotensi tidak adanya kenaikan upah di semua pekerja OS PLN dalam untuk dua tahun ke depan. Tentu saja ini sangat memprihatinkan. 

Dalam sambungan Telepon terpisah dari Semarang, Rizky Wibisono, Ketua Departemen Media FSPLN, meminta Perusahaan-perusahaan Outsorcing untuk segera membayarkan kekurangan THR, jika tidak, jangan salahkan bila protes akan semakin meluas, “Kita akan melakukan protes serentak di Jateng-DIY, jika tidak ada penyelesaian masalah THR.” Tegas Rizky.