Surat Edaran THR M/6/HK.04/IV/2021: ILUSI?

Oleh: Khamid Istakhori

Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HK.04/IV/2021 dengan kop dan stempel resmi negara tertanggal 12 April 2021 yang ditandatangani oleh Ida Fausiyah mengatur tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan. Dalam surat tersebut diatur dan disebutkan berbagai hal mengenai THR; mulai pengertian THR, perhitungan, mekanisme pembayaran, kondisi apabila terjadi penyimpangan, dan sanksi apabila perusahaan melakukan pelanggaran. Bahkan, dalam berbagai pemberitaaan media, Menaker menyatakan akan memberikan sanksi tegas bagi pelanggar aturan mengenai THR tersebut. 

Tak cukup sampai di situ, untuk menunjukkan keseriuasannya, Kemnaker juga membuka posko pengaduan THR. Pada 5 Mei 2021, ketika saya bertemu dengan Pengawas Ketenagakerjaan di Kantor Menteri, terpampang sebuah spanduk besar tentang posko tersebut. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan, Posko Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan 2021 menerima 899 aduan THR. Untuk itu, dia pun meminta para gubernur, wali kota, dan bupati turun tangan menyelesaikan setiap pengaduan THR yang masuk ke Posko THR yang telah dibentuk, serta tak segan memberikan sanksi sesuai kewenangannya bila terjadi pelanggaran aturan THR.

Tapi, dalam pandangan saya, semua yang dinyatakan oleh Menaker tersebut hanya retorika semata, mengulang beberapa Menaker sebelumnya; zaman Erman Suparno, Muhaimin Iskandar, Hanif Dhakiri, atau menteri-menteri sebelumnya. Semua hanya hangat saat bulan Ramadan saja, sesudahnya menguap. Sekali lagi, saya pesimis dan tidak percaya semua ucapan terkait dengan sanksi tegas tersebut akan terbukti. Semua itu, tentu saja berdasarkan pengalaman advokasi bertahun-tahun yang saya ikut terlibat di dalamnya.

Saya terlibat dalam beberapa pengalaman advokasi mengenai THR dan semuanya tidak berhasil. Pada sekitar 2006, sebuah perusahaan pengolahan kayu di Karawang ‘ngemplang’ THR’ pekerjanya. Yang diberikan sebagai THR oleh perusahaan hanya berupa uang sebesar Rp. 50.000 dan sekaleng biskuit merk Khong Guan, beruntung isinya bukan rengginang. Setelah aksi berhari-hari, kami melaporkan itu ke Polres Karawang; sebagai laporan pidana penggelapan. Laporan itu ditolak dan polisi mengatakan bahwa THR bukan upah, itu adalah pemberian, seperti hadiah. “Kalau THR tidak dibayarkan, bukan termasuk penggelapan dan tidak bisa dipidanakan,’ ujar petugas di Bagian Penerimaan Pengaduan.

Pada tahun yang sama, di perusahaan yang berbeda, pekerja melakukan aksi karena THR tidak dibayarkan. Perusahaan hanya memberikan amplop ucapan terima kasih berisi 2 lembar 50.000an dan lagi-lagi sekaleng biskuit. Sesudah aksi berhari-hari dan memaksa kepala Disnaker Kabupaten Karawang hadir ke lokasi, kemudian perusahaan bersedia menaikkan uang amplop menjadi Rp. 300 ribu. Salah satu pegawai Disnaker Karawang mengatakan,”Beruntung perusahaan nurut, itu sesudah saya merayu mereka berjam-jam.” ‘Merayu berjam-jam’ rupanya menjadi tugas baru Pegawai Disnaker yang heroik ketimbang menegakkan aturan!

Bertahun berikutnya, saya mendengar pengalaman dari kawan-kawan sopir di pelabuhan yang diorganisir oleh FBTPI. Kasusnya sama, perusahaan tidak memberikan THR dan hanya memberikan sejumlah uang dan kue lebaran. Mereka menyebutkannya sebagai ‘uang ketupat”. Istilah ketupat dipakai karena lebaran identik dengan ketupat. Saya bertanya, kenapa tidak disebut sebagai “uang mercon?”, bukankah lebaran kita juga suka menyalakan mercon?

Lalu, pada kisaran 2014-2015, saya berkesempatan bertemu dengan Pegawai senior di Kemnaker. Sebut saja insialnya “Bapak SahSin”. Dalam pertemuan tersebut, dia bercerita mengenai posko pengaduan THR yang dibuka kementrian. “Posko ini merupakan bentuk pelindungan kami terhadap pekerja dan kami menerima pengaduan dari semua kota dan kabupaten di Indonesia,” ujarnya berapi-api sampai menyemburkan asap. Lalu, iseng saya bertanya,”Bagaimana kalau data-data se-Indonesia sudah terkumpul?” Dengan enteng, dia menjawab bahwa data-data tersebut nanti akan diserahkan kembali kepada Kepala Disnaker di kota dan kabupaten untuk ditindaklanjuti. Seperti kehilangan selera, saya tidak bertanya lebih lanjut, sebab logika pikirnya sesat., bahkan sesat kwadrat! Bukankah pekerja melaporkan ke Kemnaker karena pengaduan mereka di kota dan kabupaten tidak memberikan hasil? Jadi, seperti main ping pong, dipukul ke sana, di kembalikan ke sono!

Jadi, belajar dari pengalaman tersebut, saya pesimis dan berprasangka buruk bahwa pernyataan yang disampaikan Menaker Ida Fauziyah tersebut hanya retorika semata. Ketika saya bertanya kepada Selamet Jastari, anggota SERBUK di sebuah perusahaan di Muara Enim, apa yang dia harapkan dari pernyataan Menaker dengan “sanksi tegas” tersebut? Dalam bayangan Selamet, dia membayangkan perusahaan akan dipanggil, diselidiki, dan kemudian diperiksa, lalu disidik oleh Pengawas dan segera diberi sanksi. Dengan berat hati, saya menjawab,”Harapanmu terlalu tinggi, Met!”

Dikutip dari Kompas.com (7/5/2021), Sekjen Kemenaker Anwar Sanusi menyebutkan bahwa ketika THR keagamaan tidak dibayar sesuai kesepakatan dan atau kesepakatan pembayar THR di bawah ketentuan perundang-undangan, maka pengawas akan melakukan pengawasan pelaksanaan pembayaran THR tersebut. Lebih lanjut Sanusi menyebutkan,”Kami akan menerbitkan nota pemeriksaan sampai dengan rekomendasi kepada pejabat berwenang pada kementerian atau lembaga atau daerah setempat untuk pengenaan sanksi administratif.” Perlu diketahui bahwa untuk dapat dijalankan, nota pemeriksaan memerlukan tahapan dan waktu yang lama, bisa jadi sampai lebaran berikutnya belum selesai. Lalu rekomendasi? Tentu saja namanya rekomendasi, bisa dijalankan dan lebih sering tidak dijalankan!

Selain itu, Sanusi juga menyebutkan bahwa sanksi administratif dapat berupa berupa teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, serta pembekuan kegiatan usaha. Pertanyaannya: berapa perusahaan yang ditegur secara tertulis? Dibatasi dan dihentikan sementara? Berapa yang dibekukan? Saya kira, datanya gelap semua.

Terakhir, saya pengin urun rembug kepada semua pekerja, serikat pekerja, dan berbagai lembaga yang selama ini aktif mengadvokasi kasus-kasus THR dan berbagai posko yang diinisiasi sebagau upayan untuk menampung data pelanggaran THR. Saya meyakini, datanya sudah sangat mencukupi dan lengkap sebab sudah dilakukan selama bertahun-tahun. Urun rembugnya adalah:


1.    Segera menjadikan data yang terkumpul sebagai database bersama dan segera menjadikannya sebagai bahan untuk menyimpulkan bahwa kasus ini selalu terjadi, berulang-ulang tanpa solusi;

2.    Merangkul lembaga-lembaga keagamaan besar di Indonesia (Lintas Agama) untuk terlibat dalam advokasi kebijakan ini;

3.    Mendesak kepada Kemnaker untuk membuka data perusahaan-perusahaan pelanggar THR selama bertahun-tahun;

4.    Mendesak perubahan peraturan yang lebih mendasar dan menyatakan bahwa penggelapan dana THR  oleh perusahaan adalah pidana dan meningkatkan sanksinya bukan hanya administratif. 

Mari kita obrolkan dan diskusikan. Siapa tahu ada pendapat yang berbeda, sembari membaca ulang, apakah Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HK.04/IV/2021 hanya sekedar ilusi?.