Kasus Covid 19 Semakin Tidak Terkendali, SERBUK INDONESIA Mendesak Pemerintah Segera Melakukan Penguncian Wilayah


Pandemi yang disebabkan oleh virus SARS Cov-2 di Indonesia sama sekali belum terkendali. Menurut Dicky Budiman, Epidemolog dari Griffith University Australia, ada Tiga penyebab pandemi belum terkendali. Hal itu adalah testing, tracing, dan Treatment yang rendah. WHO, dalam rilisnya, menetapkan standart setiap ditemukan 1 kasus positif, maka perlu dilakukan test sampai dengan 30 orang kontak erat. Sedang di Indonesia jika ditemukan 1 kasus positif hanya dilakukan test kepada 2-5 orang kontak erat.

Rendahnya tingkat uji sampel dan pelacakan terkonfirmasi dari positif rate covid di Indonesia hanya di angka 10%. Artinya penyebaran virus di Indonesia sangat tinggi, atau jumlah konfirmasi positif yang terlaporkan hanya 1/10 dari kenyataan di lapangan. Akibatnya, prosentasi kematian (Mortality Rate) di Indonesia akibat covid-19 2,78% --yang itu di atas prosentase rata-rata kematian akibat covid seluruh dunia yaitu 2,1%.

Sejak awal virus Corona muncul di Indonesia, para pakar pandemi dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sudah meminta pemerintah untuk segera melakukan penguncian wilayah atau lockdown. Langkah ini dilakukan sebagai cara untuk mengendalikan pandemi. Dan sampai dengan hari ini permintaan tersebut tidak pernah dikabulkan.

Pemerintah memilih cara lain untuk mengatasi pandemi, yaitu dengan kebijakan PSBB dan PPKM. Jokowi enggan menerapkan lockdown karena dia beralasan biayanya terlalu besar. Dan Penguncain Wilayah akan mematikan perekonomian rakyat. Banyak ahli menyangsikan itu, karena secara perbandingan, Penguncian wilayah jauh lebih murah dari pada berkutat pada pandemi berlarut-larut yang terus menghantui.

Seharusnya kerusakan perekoniomian rakyat tidak separah hari ini jika pemerintah lebih mendengarkan masukan para ahli. Baik ahli kesehatan, ahli pandemi, maupun ekonom. Karena seperti dugaan banyak pihak, sebenarnya pemerintah terlalu berhitung dengan rakyatnya. Pemerintah tidak mau menanggung beban rakyat ketika penguncian wilayah dilakukan. Yang ada Pemerintah justru lebih memilih melindungi kepentingan pengusaha dengan tidak melakukan penguncian wilayah, karena sudah berkali-kali Asosiasi-asosiasi pengusaha bersepakat untuk menolak Lockdown.

Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Benny Soetrisno kepada CNNIndonesia.com, Jumat (18/6) menyikapi wacana Lockdown ini dia berkata, "Kurang setuju, efeknya langsung ke pengusaha dan pekerja" ucapnya. Padahal lockdown sudah terbukti ampuh untuk menurunkan curva penyebaran Covid 19, yang terbukti di banyak negara seperti China, Srilangka, Selandia Baru, Vietnam, Australia dan lain-lain. Bahkan India juga melakukan lockdown untuk menghambat penyebaran varian Delta yang sempat meledak akhir-akhir ini.

Lonjakan Kasus Setelah Libur Lebaran

Sejak awal bulan Juni kita menghadapi lonjakan kasus positif covid-19. Kasus harian terus mencatatkan rekor tertingginya. Contohnya hari Minggu (27/6) kemarin, kasus positif harian meningkat sebesar 21.342. Kasus ini adalah kasus tertinggi harian yang pernah terjadi di Indonesia. Di Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) sendiri, merujuk dari hasil rapat koordinasi Komite Eksekutif pada Sabtu (26/6), ada 170 lebih anggota yang terpapar Covid-19. Data ini merupakan data sementara yang berhasil dikumpulkan secara rapid.

Menurut Jurnalisme Data Kompas, ledakan kasus covid akhir-akhir ini disebabkan 3 hal yaitu: kenaikan mobilitas warga akibat libur lebaran, kepatuhan kepada protokol kesehatan yang menurun, dan masuknya varian Delta dari India.
Varian Delta yang sudah menyebar di 80 Negara nampaknya menjadi ancaman baru pandemi Covid 19.

Varian yang mula-mula ditemukan di India ini memiliki karakteristik lebih cepat menyebar, lebih mudah menempel di sel paru-paru, dan berpotensi kebal terhadap terapi antibodi. Di Indonesia sendiri, varian Delta ditemukan dalam beberapa sampelnya dari ledakan kasus yang terjadi di di Kudus dan Bangkalan. Bahkan Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (Waketum IDI), Slamet Budiarto, hari Sabtu (27/6) kemarin, berani mengambil kesimpulan lonjakan kasus Covid-19 saat ini bukan disebabkan oleh aktivitas mudik Idul Fitri 1442 H, tetapi karena masuknya varian yang berkode B.1.617.2 itu.
Dari olah data perkembangan kasus sepanjang Juni 2021 yang dilakukan, kami memprediksikan kasus harian akan berlipat-lipat lagi, setidaknya dalam 30 hari ke depan. Dengan interval yang lebih cepat daripada periode puncak pertama (Nopember 2020-Februari 2021).

Sistem kesehatan pasti akan kolaps karena kasus aktif harian bertambah simultan dengan kenaikan kasus harian baru. Pasien bisa tidak tertangani karena sistem rumah sakit akan menerapkan perawatan prioritas berdasarkan, siapa yang memiliki harapan hidup tertinggi. Dibutuhkan tindakan yang luar biasa agar-agar prediksi tersebut tidak terjadi.
Sayangnya, Pada hari Rabu (23/6) 2021 kemarin, Jokowi sekali lagi tidak akan melakukan penguncian wilayah meskipun desakan dari epidemolog semakin gencar. Mengapa kita terus mengabaikan UU Karantina Kesehatan? Padahal kondisi di lapangan sudah berkali-kali lebih dari cukup sebagai alasan untuk diberlakukannya penguncian wilayah.

Lagi-lagi Pemberlalukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dipilih sebagai jalan mengatasi pandemi. Bahkan kali ini diberi embel-embel dipertebal dan diperkuat dari sebelumnya. Dengan pilihan kebijakan tersebut, berarti tidak ada langkah luar biasa dari negara untuk segera mengakhiri pandemi. Dengan berat hati harus dikatakan, akan semakin banyak nyawa rakyat yang melayang, karena semakin besar orang yang terinfeksi virus corona. Semoga apa yang terjadi di India beberapa waktu kemarin tidak terjadi di sini.

Kalau semua upaya mengendalikan pandemi yang sukses dilakukan di banyak negara tidak dilakukan di sini, artinya pemerintahan Jokowi memang hanya mengandalkan vaksinasi Covid-19 sebagai jalan satu-satunya keluar dari pandemi. Hal ini terkonfirmasi dalam pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi jauh-jauh hari, yang menargetkan vaksinasi 1 juta orang dalam satu hari. Meskipun program vaksinasi sudah dijalankan sejak 13 Januari 2021, atau 5 bulan yang lalu, faktanya 1 juta vaksin dalam satu hari belum pernah tercapai. Yang ada, sampai 24 Juni 2021 baru 24.929.442 (9,2%) untuk minimal dosis I dan 12.769.789 (4,7%) untuk vaksin dosis lengkap. Atau jika di rata-rata, dalam satu bulan hanya 2% dari jumlah total populasi yang telah divaksin. Jika ingin mencapai Kekebalan kelompok (Herd Immunity) yaitu 70% populasi yang divaksin, tanpa ada penambahan laju vaksinasi maka hal itu baru akan tercapai 4 tahun lagi. Sangat lama sekali bukan?.

Mengenai vaksin, dalam sejarahnya memang telah terbukti berhasil sebagai salah satu strategi untuk menghentikan wabah. Vaksin influensa menghentikan wabah flu Spanyol misalnya, atau vaksin polio yang berhasil menanggulangi wabah kaki bengkok di seluruh dunia, dan contoh-contoh lainnya masih banyak lagi. Artinya vaksinasi sebagai karya ilmu pengetahuan harus disambut oleh kita semua. Karena sesungguhnya tidak ada cukup data ilmiah yang bisa membuat kita ragu terhadap upaya vaksinas ini. Namun, dengan laju vaksinasi yang cukup lambat, kita perlu usaha yang lain untuk ikut serta mengakhiri pandemi ini.

Dengan kondisi yang sangat mengkawatirkan ini, secara internal SERBUK Indonesia sudah melakukan langkah untuk meminimalisir meluasnya orang, baik itu anggota SERBUK maupun bukan anggota SERBUK, yang terpapar Covid 19. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

1. Menggencarkan kampanye ketaatan kepada Protokol Kesehatan.
2. Mendata dan memberi support anggota yang terpapar Covid 19.
3. Menyiapkan tempat-tempat untuk isolasi atau shelter jika tempat isolasi pemerintah overload.
4. Mendorong anggota SERBUK untuk ikut program vaksinasi.

Namun, sangat disadari tindakan tersebut jauh dari cukup untuk bisa membendung pandemi. Oleh karena itu agar keadaan segera mungkin terkendali dan kerusahakan di semua sektor kehidupan tidak terjadi, Federasi Serikat Buruh Kerakyatan mendesak Presiden Joko Widodo untuk:

1. Melakukan Penguncian Wilayah (Lockdown) berdasarkan UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan.
2. Menambah kecepatan 3T (Trace-Test-Treat) dengan ratio test 5-10 orang/1000 orang.
3. Menambah fasilitas RS (alat, obat, dan tenaga kesehatan.
4. Mempercepat vaksinasi dengan rata-rata kecepatan 1.000.000-2.000.000/hari.