Asfinawati : Omnibus Law UU Cipta Kerja Adalah Manipulasi Hukum

Federasi SERBUK Indonesia mengadakan diskusi online putaran kelima. Diskusi ini, merupakan rangkaian diskusi dua mingguan yang secara reguler diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Penelitian  SEERBUK Indonesia. Staf Departemen Pendidikan dan Penelitian SERBUK Indonesia Abdul Ghopur menjelaskan bahwa pendidikan online merupakan pilihan yang ditempuh karena situasi pandemi sehingga pertemuan-pertemuan tidak bisa digelar dalam ruangan. 

Hadir sebagai pemateri diskusi Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati dengan tema “Politik Hukum Perburuhan di Balik UU Cipta Kerja”. Membuka presentasinya, Asfin menyebutkan bahwa dalam politik hukum perburuhan, kita akan disuguhkan pada pemahaman terkait hal-hal di luar teks yang tertulis dalam sebuah undang-undang, mengetahui kepentingan ekonomi politik di belakang lahirnya undang-undang, dan siapa yang paling berkepentingan memetik keuntungan dari aturan-aturan dalam undang-undang tersebut. “Undang-undang (selalu) berpihak kepada kepentingan para pembuatnya,” tegas Asfin.

Selain itu, Asfin juga menyoroti UU Cipta Kerja yang seharusnya tak layak disahkan menjadi UU karena cacat dalam proses penyusunannya. Asfin menjelaskan bahwa YLBHI menyesalkan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang terburu-buru ditandatangani dan diberi nomor oleh Presiden Joko Widodo. Ia menilai kesalahan pengetikan yang terdapat di dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sudah menjadikannya cacat formil. “Apa yang dilakukan Presiden, sudah tidak malu-malu lagi, dibandingkan revisi UU KPK,” tegas Asfin. Melalui UU Cipta Kerja, Asfin menegaskan bahwa Presiden Joko Widodo lebih memihak kepada kepentingan oligarki.

Lebih lanjut, Asfin menguraikan bahwa UU Cipta Kerja sebenarnya merupakan manipulasi hukum karena di dalamnya terdapat begitu banyak kepentingan oligarki yang dimanipulasi oleh Pemerintah dan DPR RI dan memberikan cek kosong kepada Presiden untuk membuat aturan turunannya sesuai kepentingan mereka. “Ruhnya masih sangat kental dengan semangat untuk melonggarkan hubungan kerja antara pekerja dengan majikan, pekerja dibiarkan bertarung sendiri dengan pemilik modal tanpa pembelaan dari pemerintah,” ujar Asfin.

Dalam paparannya, Asfinawati juga menyebutkan keterlibatan 127 orang anggota Satuan Tugas (Satgas) Bersama Pemerintah dan Kadin untuk konsultasi publik Omnibus Law yang terdiri dari perwakilan kementerian atau lembaga terkait, pengusaha, kepala daerah, akademisi, dan tokoh masyarakat. “Satgas ini jelas bermasalah, apalagi yang menjadi pengarah adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang juga merupakan pengusaha,” ujarnya. Beberapa nama yang masuk dalam Satgas tersebut antara lain Beberapa pengusaha dan tokoh masyarakat yang menjadi anggota Satgas, antara lain: James Riady, Jhonny Dharmawan, Erwin Aksa, Anton Supit, Haryadi Sukamdani, Indroyono Soesilo, Suryadi Sasmita, Carmelita Hartoto, Anies Baswedan, Abdullah Azwar Anas, Suryo Pratomo, Wahyu Muryadi, Tito Sulistio, John Prasetyo dan Umar Juoro.

Lalu apa upaya yang bisa dilakukan oleh serikat buruh dalam upaya menolak pemberlakuan UU Cipta Kerja? Menurut Asfin ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Pertama, mendorong judicial review melalui Mahkamah Konstitusi (MK) meskipun Asfin meragukan peluang diterimanya gugatan. Menurut Asfin, saat ini kita meragukan komposisi Majelis Hakim yang ada di MK. Asfin menyebutkan proses judicial review atas UU KPK. Kedua, serikat buruh harus terus menerus melakukan perlawanan atas pemberlakuan UU Cipta Kerja. “Serikat buruh harus kembali melakukan konsolidasi untuk membangun kembali kekuatanhya dan ini merupakan langkah yang utama,” ujar Asfin.

Menutup pemaparannya, Asfin menjelaskan bahwa penyusunan Omnibus Law UU Cipta Kerja merupakan keputusan politik sehingga langkah yang paling mungkin dilakukan tentu saja membangun kekuatan politik. “Kesadaran politik buruh harus kembali dibangun, tidak bisa ditunda-tunda lagi.” (ki)