Pandemi Covid-19 dan Efektivitas Vaksinasi
Oleh : Khamid Istakhori*
Hari ini, Senin (26/7) saya menerima vaksin dosis kedua, Sinovac. Vaksin dosis pertama, saya peroleh pada 25 Juni 2021. Sejauh yang yang saya rasakan, saya tidak mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang berarti, kecuali hanya merasakan pusing dalam 1-2 jam. Sesudah tidur selama sekitar 2 jam, pusing itu berkurang. Demam, radang, alergi, atau gejala lainnya tidak saya alami. Sebelum divaksin, dokter menyatakan kondisi badan saya sehat: tekanan darah 128/84, nadi 97 denyut per menit (bpm), saturasi oksigen (SpO2) 98%. Karena ini vaksin kedua, saya tidak perlu verifikasi data yang njlimet, sehingga hanya mengantri sekitar 45 menit. Sesudah selesai, dokter berpesan agar istirahat cukup.
Nah, berkaitan dengan vaksin, mungkin tulisan pendek di bawah ini berguna untuk kawan-kawan. Pada 16 Juli 2021, SERBUK menggelar diskusi online bertemakan vaksinasi. Narasumber yang kami undang Wignya Cahyana, alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM). Selain itu, Wignya juga menjabat sebagai Ketua Yayasan Komunitas Kanker Indonesia (2014-sekarang). Sepanjang pandemi Coivid-19, pendapat-pendapat Wignya menjadi rujukan banyak kawan, baik untuk konsultasi pribadi atau buat kawan-kawan yang menjadi relawan untuk organisasinya.
Vaksinasi adalah sekoci penyelamat
Dalam presentasinya pada diskusi online tersebut, Wignya menganalogikan situasi pandemi Covid-19 ini seperti kapal yang akan karam, dibutuhkan sekoci-sekoci kecil untuk pertolongan darurat. “Sekoci memang hanya pertolongan sementara, tidak ideal dan darurat, tapi itu lebih baik sebagai pertolongan pertama untuk mencegah kematian,” ujarnya. Berkaitan dengan vaksinasi pada kasus Covid-19, Wignya menceritakan muncul banyak keraguan, baik yang berdasarkan alasan medis atau alasan lain seperti isu kesehatan dan keamanan, pemasangan chip untuk manusia, isu vaksin haram, dll. Menurutnya, keraguan dan perdebatan itu wajar bila dikaitkan dengan mempelajari sejarah vaksin di dunia. “Riset untuk vaksin Covid-19 hanya dalam hitungan bulan, ini menjadi semacam riset yang sangat pendek,” tuturnya. Pilihan itu tentu saja tidak mudah karena situasinya sangat darurat. Sebagai perbandingan, Wignya menyebutkan bahwa vaksin Thypod Fever, sebuah vaksin yang digunakan untuk mencegah penyebaran penyakit infeksi pada usus halus penyebab penyakit tipes/thypus memerlukan waktu sangat panjang. Sejak Vaksin Tifoid pertama dikembangkan pada tahun 1896 oleh Almroth Edward Wright, Richard Pfeiffer, dan Wilhelm Kolle, vaksin ini baru benar-benar dinyatakan sempurna pada 1990an atau 100 tahun lebih.
Cerita serupa juga terjadi pada proses panjang penemuan vaksin meningitis. Pandemi penyakit ini terjadi pada 1805, ditemukan oleh Dr. Gaspard Vieusseux, seorang dokter Swiss yang pertama mencatat penyakit meningoccocal. Pada 1887 (berselisih waktu 80 tahun kemudian), seorang ahli patologi dan bakterologi bangsa Austria bernama Anton Weichselbaum berhasil menemukan kuman Neisseria meningitidis, sebagai penyebab penyakit meningitis pada manusia. Sesudah serumnya ditemukan pada 1913, vaksinnya baru bisa digunakan pada 1940. Sangat panjang bukan? Dengan dasar pertimbangan tersebut, menurut Wignya, sangat wajar kalau orang kemudian bertanya-tanya atas proses penemuan dan produksi vaksin Covid-19 yang sangat pendek. “Sekali lagi saya tegaskan, bahwa situasi pandemi Covid-19 ini sudah sangat memburuk, tidak ada pilihan lain selain mempercepat vaksinasi,” tegas Wignya, “Vaksinasi adalah pilihan terbaik.”
Apakah vaksin Covid-19 aman?
Wignya menjelaskan bahwa dua persyaratan pertama untuk pemberian vaksin sudah terpenuhi oleh vaksin Covid-19 (baik AztraZeneca maupun Sinovac). Pertama, dipastikan vaksin ini aman. Kedua, vaksin ini bermanfaat. Kedua persyaratan tersebut sangat penting, meskipun efektivitas vaksi Covid-19 ini hanya sekitar 6-12 bulan. Sebagai analogi, Wignya menggambarkan situasi ketika kita sakit kepala, lalu minum obat pereda sakit kepala. Pertama, tentu kita memilih obat yang aman, tidak menimbulkan efek samping. Yang kedua, meskipun efektivitas obat tersebut hanya meredakan sakit kepala selama satu jam, tetap akan kita pilih. “Setidaknya, selama satu jam ke depan, kita tidak merasakan sakit kepala dan dalam kurun waktu tersebut, kita bisa mencari pertolongan lainnya,” ujarnya. Demikian juga dengan vaksin Covid-19. Meskipun efektivitasnya hanya 6-12 bulan, kita tetap harus memilih vaksinasi dan berharap, dalam kurun waktu 6-12 bulan sesudah menerima vaksin, ditemukan upaya-upaya maju mengatasi situasi ini, terutama terpenuhinya kekebalan komunitas karena capaian vaksinasi mencapai 70% dari total populasi di Indonesia.
Namun demikian, Wignya menjelaskan bahwa vaksin bukan obat. “Obat Covid-19 belum ditemukan dan vaksin bukan obat,” tegasnya. Menurutnya, vaksin adalah zat yang sengaja dibuat untuk merangsang pembentukan kekebalan tubuh dari penyakit tertentu, sehingga bisa mencegah terjangkit dari penyakit tertentu tersebut. Berdasarkan website World Health Organization (WHO), vaksin mengandung antigen yang sama dengan antigen yang menyebabkan penyakit, namun antigen yang ada di dalam vaksin tersebut sudah dikendalikan (dilemahkan) sehingga pemberian vaksin tidak menyebabkan orang menderita penyakit seperti jika orang tersebut terpapar dengan antigen yang sama secara alamiah. Lebih lanjut, Wignya menjelaskan bahwa pemberian vaksin kepada seseorang di mana vaksin tersebut berisi satu atau lebih antigen. Saat vaksin dimasukkan ke dalam tubuh, sistem kekebalan tubuh akan melihatnya sebagai antigen atau musuh. “Sebagai respon adanya ancaman dari musuh, tubuh akan memproduksi antibodi untuk melawan antigen tersebut,” ujarnya. Tetapi, menurut Wignya, kekebalan yang didapat melalui vaksinasi, tidaklah bertahan seumur hidup terhadap infeksi penyakit berbahaya.
Lebih tegas, Wignya menyebutkan bahwa dalam situasi pandemi Covid-19 yang sedemikian parah ini, vaksinasi merupakan pilihan terbaik untuk upaya pencegahan. Berkaitan dengan masih adanya orang yang tetap terpapar Covid-19 meskipun sudah divaksin, Wignya menjelaskan bahwa itu merupakan fenomena yang wajar, tapi setidaknya ketika terpapar Covid-19 sesudah vaksinasi, kondisinya lebih aman, tidak separah apabila belum divaksin.
Tetap sehat di masa pandemi
Situasi masih belum terkendali, tidak baik-baik saja. Menurut Wignya, meskipun sudah divaksin, tetap penting bagi kita untuk tetap mengupayakan hidup yang sehat. Beberapa saran yang dianjurkan oleh Wignya adalah:
1. Tetap menjaga protokol kesehatan. Tetap waspada dengan selalu menjaga kebersihan dan kesehatan. Gunakan masker, bahkan masker rangkap seperti anjuuran dokter, cuci tangan dengan sabun sesering mungkin, jaga jarak minimal 1,5 meter, dan menghindari kerumunan. “Upayakan menghindari kerumunan, hindari pertemuan-pertemuan offline dalam situasi ini,” ujarnya.
2. Biasakan oleh raga. Meskipun hanya sebentar, selalu lakukan olah raga ringan. Olah raga ekstrim justru tidak disarankan. “Olah raga ringan seperti jogging atau jalan kaki selama 20 menit lebih baik dibanding olah raga ekstrim seperti main futsal,” sarannya.
3. Penuhi kebutuhan suplemen. Minum vitamin sesuai anjuran dokter dan konsumsi produk-produk herbal, misalnya minuman jahe, jeruk nipis, dll.
4. Berjemur selama 15 menit. Menurutnya, berjemur selama 15 menit pada kisaran waktu jam 10-11.30 merupakan upaya yang sangat disarankan.
Selamat mencoba. Tetap waspada dan jaga protokol kesehatan. Mari, sehat bersama.
*Penulis adalah Kordinator Departemen Pendidikan SERBUK Indonesia
Posting Komentar