OLIMPIADE


Oleh : Saif Roja*

Hari itu 28 Agustus 1963. Suara Martin Luther King merambat di udara. Dia berdiri di muka seperempat juta manusia yang tumpah dalam "March on Washington". King, sebagaimana kebanyakan orator ulung, memiliki kemampuan fonetik memikat. Mulutnya yang terkenal lincah, melafalkan pidato yang menyejarah. "I Have a Dream".  Pidato tersebut akan dikenang selama-lamanya. 

Kebanyakan yang datang ke Pawai Washington warga kulit hitam. Banyak amarah yang mereka bawa. Amarah kepada rasisme,  kemiskinan, ketidakadilan. Orang Afro-Amerika sejak lama hidup memamah amarah. "To be a Negro in this country and to be relatively conscious is to be in a state of rage almost, almost all of the time...." ujar James Baldwin suatu waktu. 

Pada dekade itu, Amerika  mempraktikkan kebijakan segregasi.  Ada bar kulit putih dimana yang hitam akan diusir bila datang ke sana. Jika yang berkulit gelap salah masuk ke bus  kulit putih, kekerasan menjadi penyudah. Bahkan setelah menjadi mayat, tanah penguburannya pun tak boleh bercampur. Pemakaman terpisah ialah manifestasi hukum besi rasialisme sampai mati! 

Martin Luther King  seperti yang diucapkan dalam pidatonya, menentang keburukan tersebut, "...anak-anak bekas budak dan anak-anak mantan pemilik budak bisa duduk semeja dalam persaudaraan." 

Lima tahun sejak pidato hebat di Lincoln Memorial menggema, sebuah peluru kaliber 30-06 melesat dari senapan Remington 760 . Peluru menerpa pipi kanan. Mematahkan rahang. Menghajar sumsum tulang belakang. Memutuskan vena jugularis dan arteri utama, sebelum mencapai  bahu. Martin Luther King ambruk di balkon. Selanjutnya, tewas. 

Tokoh perlawanan kulit hitam, Malcolm X, mangkat tiga tahun sebelumnya. Hari itu giliran Martin Luther King terbunuh. Dua hari berselang, Bobby Hutton. Bendahara Black Panther Party  mati ditembak polisi. Kerusuhan besar lalu pecah. Lebih dari 100 kota dikerubungi api. Garda Nasional diturunkan ke jalan. Orang bilang, ini adalah kerusuhan terbesar sejak Perang Sipil Amerika di abad ke-19. 

Dalam suasana negerinya yang mendidih, Tommie Smith dan John Carlos pergi ke Olimpiade Musim Panas Meksiko City. Keduanya pelari jarak pendek. Keduanya berkulit hitam. Smith lahir di Clarksville, Texas. Saat kecil dia memiliki masalah paru-paru. Carlos besar di Bronx. Kawasan sukar dengan kisah kekerasan mengakar. 

Meksiko City sendiri tidak sedang landai-landai saja. PRI yang berkuasa dengan dukungan Washington menjalankan pemerintahan seperti memilih kue cherry. Mana yang lezat akan dilahap, demi menggendutkan perut secuil elite. Kue cherry yang tak enak dibuang semaunya. Bagi PRI, mengurus kehidupan rakyat serupa kue cherry yang berjamur.  Tak akan ditelan. 

Suatu hari sekelompok pengunjuk rasa berkumpul di Alun-Alun Tiga Budaya. Protes terhadap penyelenggaraan Olimpiade tengah meluas. Mahasiswa-mahasiswa makin sukar diatur. Pemerintah Meksiko mengirimkan buldoser guna membubarkan massa. 

Pasukan keamanan lalu datang. Mereka  menembak ke arah kerumunan. Sepuluh ribu pengunjuk rasa tercerai-berai. Tak kurang dari 300 orang tewas. Sejarah menyebutnya sebagai Pembantaian Tlatelolco. Darah menggenang hanya sepuluh hari sebelum Olimpiade terlaksana. 

Pada Olimpiade yang kusam ini Tommie Smith dan John Carlos memenangkan medali lari 200 meter. Smith meraup emas. Carlos mengalungi perunggu. Keduanya berdiri di podium sambil merentangkan tinju yang berbalut sarung tangan hitam ke awan. Itu adalah gestur "Black Power Salute". 

Keduanya melakukan protes. Keduanya menuntut kesetaraan. Pasangan pelari cepat menggunakan kemenangan mereka sebagai sarana menyuarakan statemen politik. Smith bilang, "Jika aku menang, aku orang Amerika, bukan orang Amerika kulit hitam. Tetapi jika aku melakukan sesuatu yang buruk, mereka akan mengatakan aku seorang Negro."

Pasca aksi kontroversialnya, Smith dan Carlos diskors tim AS. Mereka diusir dari Perkampungan Olimpiade.  Keduanya pulang ke Amerika Serikat, untuk menghadapi serangan balasan, cercaam serius, termasuk ancaman pembunuhan. 

Majalah Time, yang konon liberal, ikut menghadik. " 'Lebih Cepat, Lebih Tinggi, Lebih Kuat' adalah moto Olimpiade. 'Lebih marah, lebih jahat, lebih buruk' lebih menggambarkan pemandangan di Mexico City minggu lalu", tulis Time. ESPN menghina Smith dan Carlos sebagai pasangan penjinak badai berkulit hitam yang tercela. 

Peter Norman adalah peraih peraknya. Dia menjadi orang ketiga di podium. Bagian dari aksi protes. Norman anak kelas pekerja asal Melbourne. Ia tumbuh miskin. Belajar lari cepat menggunakan sepatu ayahnya yang kebesaran. Ayahnya jagal daging yang tak cukup uang membelikan puteranya sepatu. 

Saat itu Australia sedang mengalami ketegangan rasialnya sendiri.  Selama bertahun-tahun, pemerintah membatasi imigrasi  orang-orang non-kulit putih. Australia hanya menyambut penduduk baru kulit putih seperti dari Baltik. Sejak lama negeri itu berlaku keji kepada penduduk asli Aborigin. Norman tumbuh dalam iklim yang seperti ini. Iklim yang membentuk pikiran dan komitmennya. 

Tidak seperti Smith dan Carlos yang lambat laun dipulihkan haknya sebagai atlet, Norman menderita lebih parah. Dia secara teratur ditolak mengikuti acara olahraga. Karir dan pencapaiannya diamputasi permanen. Ketika Olimpiade Sydney digelar pada tahun 2000, Norman tidak pernah disebut. Norman lantas jatuh sebagai alkoholik. 

Norman meninggal pada tahun 2006. Carlos dan Smith datang ke Australia menjadi pengusung jenazahnya. Enam tahun setelah kematiannya, pemerintah Australia meminta maaf atas perlakuan diskriminatif yang diterima Norman.  Pada 28 April 2018, Norman menerima penghargaan anumerta dari Komite Olimpiade Australia (AOC) atas prestasi, juga aksi beraninya di Olimpiade 1968. 

Pada Olimpiade Barcelona 1992 Indonesia punya cerita. Negeri itu meraih medali emasnya yang pertama, dan sekaligus yang kedua. Merah putih berkibar tidak hanya sekali. Pertama, dikibarkan seiring derai air mata yang menderas di wajah Susi Susanti. Perempuan itu terlihat amat haru. Ketika emas yang lain bersemayam di leher Alan Budikusuma beriring lagu Indonesia Raya, kepala Alan terlihat tegap. Sebuah bangsa meraup kebanggaan. 

Keduanya putera-puteri beretnis Tionghoa. Selama waktu yang panjang etnis ini dikepung kebencian. Dimusuhi oleh tidak sedikit penduduk. Seperti Smith dan Carlos, Susi Susanti dan Alan Budikusuma adalah "anak yang tak digemari tanah kandungnya", tetapi mengharumkan nama bangsa. Semacam golongan yang dibanditkan, malah menjadi pahlawan nasional. 

Hingga kini, Amerika tetap tersandera isu rasial. George Flyod terbunuh setelah lehernya ditindih lutut polisi. Tahun lalu demonstrasi raksasa pecah menentang rasialisme di kota-kota Amerika.  Sementara Indonesia hidup dengan kebenciannya sendiri. Banyak yang masih memusuhi orang Tionghoa hanya karena mereka Tionghoa. 

Di suatu negeri, berkulit hitam, berambut keriting, akan sama celakanya dengan berkulit kuning  dan bermata sipit. Rasiaslisme ialah kebencian primitif. Berurat nadi dalam purbasangka masyarakat yang sakit. 58 tahun yang lalu Martin Luther King mengucapkan mimpinya dalam "I Have a Dream". 

"Aku punya mimpi, keempat anak-anak ku suatu hari nanti bisa hidup di negeri di mana mereka tak akan dihakimi berdasarkan warna kulit, melainkan berdasarkan karakter mereka." 

Ajang sepak bola Euro yang lalu, ditutup oleh serangan rasialis kepada Sancho, Rashford dan Saka. Tiga pesepakbola Inggris berkulit gelap yang gagal menunaikan penalti. Olimpiade Musim Panas dihelat di Tokyo tahun ini. Olimpiade ke-32. Dan mimpi Martin Luther King masih jauh dari terwujud. Jarak antara mimpi dan kenyataan terkadang bisa berumur berabad-abad. Rasialisme bukan saja memiliki banyak wajah, tapi juga umur panjang.


***

*Penulis adalah Departemen Media dan Propaganda KPBI