Keadilan Menyala di Bumi Indonesia - Pidato Wisuda Khamid Istakhori

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

KEADILAN MENYALA DI BUMI INDONESIA

Oleh : Khamid Istakhori

Cak Munir dicintai karena dia tidak pernah meninggalkan korban. 
Dia berjuang dan hidup bersama korban 
(Suciwati, 13 Agustus 2021).

Munir Said Thalib, pembela HAM pemberani yang kita panggil namanya dengan kekaguman dan hormat itu, meletakkan korban dalam hatinya yang paling dalam sebagai wujud atas cinta dan ketundukan pada Tuhan. Cak Munir menegaskan bahwa keberpihakan pada si miskin yang tersisihkan dan menjadi korban dari sebuah sistem yang tidak adil adalah manifestasi dari nilai-nilai ketuhanan,”Ketika saya berani shalat, konsekuensinya saya harus berani memihak yang miskin dan mengambil pilihan hidup yang sulit untuk memeriahkan perintah-perintah itu, seperti membela korban. Tidak ada alasan bagi umat Islam untuk tidak berpihak kepada yang tertindas.”

Melalui mimbar yang mulia, mari kita menundukkan kepala penuh takzim kepada korban. Mereka adalah: buruh-buruh yang menggerakkan mesin dan roda ekonomi, korban-korban penggusuran, para ibu dan ayah yang kehilangan anak-anaknya karena penculikan, masyarakat adat yang ratusan tahun berjuang membela, menjaga, dan memperjuangkan tanah ulayatnya di Papua, Kalimantan, Kendeng, Baduy, dan hamparan bumi nusantara lainnya, ribuan orang yang kehilangan kewarganegaraan dan hak-hak politiknya sejak 1965, pejuang dan pembela HAM yang bersetia pada pembelaan kaum miskin dan terancam jiwanya, kaum perempuan yang tersisihkan, kelompok disabilitas, miskin kota, dan semua yang termarjinalkan karena sistem. Juga, rakyat yang harus mengalami derita ganda karena pandemi Covid-19 dan kebijakan-kebijakan Pemerintah yang menjadikan nyawa hanya deretan angka-angka. Kepada mereka yang telah berjuang dan berpulang, mari kita senantiasa memberikan penghormatan. Solidaritas rakyat dan korban di Indonesia, Palestina, Kuba, Bolivia, Venezuela, Hongkong, dan belahan dunia lainnya adalah pemersatu yang sebenarnya. 

kutundukkan kepalaku
kepada semua kalian para korban
sebab hanya kepadamu kepalaku tunduk

kepada penindas
tak pernah aku membungkuk
aku selalu tegak

Wiji Thukul, 4 Juli 1997

Saya merasa sangat beruntung mendapatkan kemewahan karena selama bertahun-tahun belajar dalam tempaan solidaritas, dan nilai-nilai perjuangan melalui serikat buruh. Saya meyakini bahwa serikat buruh adalah kampus pertama saya. Dan pada 2017, ketika Kampus Pembaru Hukum STHI Jentera memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar melalui program Beasiswa Munir Said Thalib, hari itu, saya menerima satu pesan dari Mbak Suciwati yang sangat menyentuh,”Jangan pernah merasa lelah untuk belajar, sebab itulah teladan dari Cak Munir. Bukankah kepergian Cak Munir ke Belanda waktu itu juga untuk kembali belajar?” Untuk itulah, izinkan saya menyampaikan salam hormat dan terima kasih untuk Mbak Suciwati beserta seluruh keluarga, Soultan Alif Allende, Diva Suukyi Larasati. 

STHI Jentera adalah Kampus Pembaru Hukum yang unik dengan lingkungan akademik yang egaliter, kritis, terbuka, dan kreatif. Selama 4 tahun, kami belajar untuk membangun kolaborasi dalam keanekaragaman, kami diajarkan untuk berkontibusi pada upaya-upaya menuju perubahan ke arah Indonesia yang lebih baik dengan memajukan kemanusiaan dan keadilan. Kami dihadapkan pada pilihan-pilihan tegas untuk selalu menjunjung tinggi etika dan integritas. Kami dibangunkan kesadarannya untuk menjadi pembelajar seumur hidup. Sungguh, di kampus inilah kami dipertemukan dengan para pengajar yang bukan saja mumpuni tapi juga memberikan keteladanan dalam bersikap, termasuk pengajar tamu dan praktisi yang menularkan spirit pembelaan HAM dan perspektif hukum yang lebih maju. 

Kampus Pembaru Hukum ini, tidak saja berkontribusi dalam kajian-kajian hukum yang progresif, tapi senantiasa mendorong seluruh civitas akademika untuk terlibat aktif dalam aksi-aksi nyata melakukan pembelaan dan keberpihakan pada gerakan rakyat. Kampus ini, tidak saja hadir dalam aksi Hari Perempuan Internasional, Peringatan Hari Buruh Sedunia, Peringatan Hari HAM, atau Peringatan Hari Antikorupsi, tapi juga ada di tengah perjuangan menolak revisi UU KPK, Aksi Reformasi di Korupsi, dan menolak dominasi oligarki. Kampus ini, juga menjadi garda terdepan dalam membela 75 pegawai KPK yang disingkirkan melalui Test Wawasan Kebangsaan (TWK).  

Melalui mimbar yang mulia, izinkan saya menyampaikan ucapan terima kasih, doa-doa terbaik kepada seluruh pihak yang telah memberikan dukungan selama ini:

1. pendiri dan pengurus Kampus STHI Jentera yang telah meletakkan pondasi kokoh dan nilai-nilai integritas;

2. Ketua STHI Jentera Bapak Arief Surowijoyo dan para Wakil Ketua: Bang Giri, Mbak Gita, Pak Sholikin, dan Bang Arya Suyudi dan juga para Ketua Bidang Studi: Bang Rizky Argama, Bang Fajri Nusyamsi, Bang Anugerah Rizki Akbari, dan Bang Muhammad Faiz Aziz beserta seluruh dosen dan civitas akademika STHI Jentera;

3. Seluruh keluarga yang memberikan dukungan sepenuh2nya;

4. Kawan2 serikat buruh, terutama SERBUK, KPBI,dan BWI;

5. Terima kasih sangat istimewa untuk semua staf dan pekerja di STHI Jentera yang bekerja sangat keras memastikan semua fasilitas kampus berjalan dengan semestinya. Merekalah yang datang paling awal dan pulang paling akhir. Hormat dan terima kasih untuk Astria Sihombing/Kak Aci, Triawan Mardiasa/Mas Aca, Kak Devi Rinawaty, Om Bayu, Fadil Kuntjara, Fahmi Nur Ichsan, Miqdad Haqqony, Putri Pratiwi, Fachri Rustandi, dan Subur & Ole. 

6. Terima kasih dan hormat pada MHA Malamoi di Kabupaten Sorong Papua Barat  yang telah membuat saya jatuh cinta pada budaya dan tanah Papua. Kami berhutang pada kalian semua yang sudah menjaga tanah dan hutan adat di Papua selama ratusan tahun. Saya tahu, kawan2 di sana bukan saja sedang berjuang merebut pengakuan dan pelindungan atas hak2, menghadapi gugatan dari korporasi sawit di pengadilan, tapi juga sedang berjuang melawan genosida kultural. 

Terakhir, melalui mimbar yang mulia ini, mari kita beri dukungan kepada Munir-Munir Muda yang akan menjadi garda depan Pembaru Hukum. 15-20 tahun mendatang, merekalah yang akan memimpin penegakan hukum di negeri ini. Hormat, cinta, sayang, dan peluk untuk Munir-Munir Muda angkatan III: Alviani Sabillah,  Anak Agung Desni Sensini dan Muhammad Adhar Nasir, Destiana Rahmasari, Ferny Prayitno, Ikhsan Lutfi Wibisono, Kris Nina Hanapi, Muhammad Fernanda Gunawan,Nur Ansar, Nur Muhammad Fikri, Octania Wyn, Rizki Zakaria, Yogi Prastia, dan Vladimir Aditya Wicaksono. 

Menutup pidato ini, saya mengutip sebuah puisi yang ditulis oleh KH Mustofa Bisri untuk Munir Said Thalib, sembari memberikan dukungan kepada Komnas HAM untuk segera menegaskan bahwa pembunuhan Cak Munir 17 tahun lalu sebagai Pelanggaran HAM berat. 

Bagaikan pahlawan dongeng yang menjelajah padang
Mendaki gunung menuruni jurang
Melawan para penjahat yang sewenang-wenang
Dengan berani dan penuh kasih sayang
Kau bela kaum yang lemah dan terbuang
Bila iman adalah engkau maka benarlah kata kiai
Iman menjaga kemanusiaan dan nurani
Tapi mengapa kau dijemput terlalu pagi
Mungkinkah pohon yang kau rawat selama ini akan bersemi?

Mustofa Bisri, Oktober 2004. 

Di udara, Cak Munir melihat kita. Yakinlah, Keadilan menyala di Indonesia. Dan Internasionale, Jayalah di dunia!

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.