Mereka Menjadi Kaya karena Mencuri
Oleh: Khamid Istakhori*
Sepulang aksi Peringatan Hari Sumpah Pemuda, saya pulang belakangan. Sengaja menunggu situasi agak sepi, saya berjalan menelusuri jalanan ke arah Bundaran Hotel Indonesia (HI). Sore itu, udaranya segar dan cerah, lampu-lampu jalanan sudah menyala, sebagian. Di depan Kantor ILO, saya bertemu seorang pekerja konstruksi dari Temon, Kulon Progo, Yogyakarta. Dari helm yang dipakainya, saya kemudian tahu namanya Jiman, bekerja di PT Cikro.
Dari obrolan yang mengalir, sambil berjalan menuju arah HI, dia bercerita. Dia bekerja di proyek konstruksi pembangunan stasiun MRT, direkrut oleh mandor yang punya relasi dengan PT Cikro. Dari Kulon Progo, ada 20 pekerja seperti dirinya.
“Kapan terakhir pulang?,” tanya saya.
“Dua bulan yang lalu, Pak,” jawabnya sambil jalan bergegas.
Gajinya hanya sebesar Rp. 1,7 juta rupiah. Itu, sudah sesuai dengan UMK Kulon Progo yang sebesar Rp. 1.750.500. Padahal, berdasarkan informasi terbaru, UMK Kulon Progo pada 2021 adalah sebesar Rp 1.805.000. Satu poin, dia ditipu oleh bosnya.
“Bapak tahu, UMP Jakarta Rp. 4,6 juta?” tanyaku.
"Tahu, Pak. Tapi saya kan orang Kulon Progo, ya mestinya ikut sana dong,” jawabnya polos.
Pemahaman itu, didapat dari penjelasan staf kantor ketika dirinya mulai bekerja, sejak 4 tahun lampau. Jadi, di mana pun dia bekerja, upahnya sama dengan UMK Kulon Progo. Tapi, bapak kerja di Jakarta, harusnya upah juga mengikuti standar Jakarta, saya mencoba memberitahu. “Itulah, bos bilang kalau gak mau gapapa, keluar saja,” katanya lirih. Saya membayangkan, keluarganya di Kulon Progo sangat membutuhkan upah bulanan yang dia peroleh.
Dari ceritanya pula, saya tahu perusahaan memberinya uang makan. “tapi, kalau saya tidak masuk, ya gak dibayar,” ujarnya. Sebulan bisa membawa pulang uang sampai Rp. 3,5 juta rupiah, kalau banyak pekerjaan lembur.
Di sebuah bangku dekat Bundaran HI, saya duduk, sambil memikirkan Pak Jiman. Memikirkan upahnya yang tidak penuh. Kalau dia hanya menerima upah sebesar Rp. 1,7 juta, itu artinya ada Rp. 2,9 juta yang diambil bosnya. Dengan masa kerja di berbagai proyek konstruksi di Jakarta yang sudah diikutinya selama 4 tahun, secara kasar dapat dihitung begini: Selisih upah x 4 tahun x 12 bulan (2,9 juta x 4 x 12 = 139 juta). Mari bayangkan, ada berapa ribu pekerja konstruksi yang bekerja di proyek-proyek konstruksi di Jakarta Raya ini. Itu baru upah, belum kita hitung hak BPJS, upah lembur, THR, dan cuti tahunan... Semua itu, bisa masuk ke dalam sesuatu yang disebut sebagai nilai lebih atau surplus value.
Lalu, pikiran saya traveling, membaca kalimat-kalimat yang dipopulerkan oleh Marx melalui Das Kapitalnya: surplus value/nilai lebih merupakan teori dari pemikiran Marx yang menyatakan tentang adanya kelebihan nilai produksi seorang buruh berbanding dengan upah dalam suatu proses produksi (Das Kapital Vol 1 (1867: 145).
Lalu, teringat juga, hadist Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalaam yang ditegaskan 14 abad lampau; sebuah deklarasi perang kepada pengemplang upah buruh: Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering. (HR. Ibnu Majah, shahih).
Saya membayangkan, dari mana kekayaan berlimpah yang dimiliki pengusaha-pengusaha itu? Bisa jadi, sebagian (besar) memang berasal dari hasil curian!
*Penulis adalah Kordinator Departemen Pendidikan SERBUK Indonesia
Posting Komentar