Kamis (18/10), langit Sukoharjo sedang cerah. Kurang lebih 30 orang yang didominasi perempuan terlihat antusias mengikuti setiap sesi. Tajuk acaranya memang penting: peran perjuangan pekerja perempuan dalam ruang domestik dan publik, studi pada sektor kelistrikan.
Bertempat
di rumah makan sederhana Kebon Deso, Acara ini dilangsungkan secara
kolaboratif. Penyelenggara utamanya adalah SERBUK Komite Wilayah Jateng-DIY,
SPLAS-SERBUK, Mahasiswa PPS Prodi IKS UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Kanal
Muda. Diskusi dilakukan secara interaktif. Tidak sedikit canda tawa yang
membuat suasana menjadi semakin seru dan meriah.
Ketua
panitia dan juga perwakilan mahasiswa PPS, Uli, memberikan sambutannya. “Diskusi
ini penting untuk diselenggarakan. Mengapa demikian?, agar kita lebih mengenali
persoalan perempuan yang sedang dialami. Hari ini, harus kita akui, ada situasi
yang berubah, situasi yang menempatkan perempuan pada posisi yang bisa berperan
lebih optimal dalam ranah domestik dan publik. Perempuan bisa menjadi dirinya sendiri yang
terbaik untuk menjadi aktif di keduanya. Sehingga, perjuangan atas peran aktif
perempuan ini selalu penting untuk diprioritaskan.”
Setelah
sambutan pertama, Hepi, perwakilan Komite Wilayah SERBUK Jateng-DIY, menyambung
memberikan sambutan dan perspektifnya. “Perempuan dan laki-laki sejatinya sama
di hadapan hukum dan di hadapan Tuhan. Perlakuan yang berbeda untuk membedakan
peran perempuan atau bahkan mengabaikannya ini sudah menjadi hal yang usang.
SERBUK mendorong perjuangan aktif perempuan di tempat kerja. Perempuan tidak boleh
mendapat perlakuan diskriminatif, dan juga, yang tidak kalah penting, tidak
boleh ada kekerasan serta pelecehan seksual. BWI (Building and Wood Worker’s
International) sebagai afiliasi internasional SERBUK sangat tegas mengenai hal
ini. Perempuan harus terlibat aktif dalam
serikat dan tempat kerja yang layak. Perempuan harus aman dan tidak merasa
was-was untuk bisa memerankan dirinya.”
Di sesi pertama, hadir Bu Retno sebagai narasumber. Bu Retno adalah pekerja pencatat meter dari rayon Karanganyar. Sikapnya tenang dan sederhana. Ia bercerita dengan mengalir. Lancar. Seperti sungai menuju muara tanpa penghalang. Bu Retno mengawali ceritanya. “Jadi Bapak-bapak, Ibu-ibu, awalnya saya memiliki suami seorang pencatat meter. Dan saya masuk menjadi pencatat meter pada tahun 2012 menggantikan suami saya yang meninggal. Saya cukup nekat melakukannya. Saya datang langsung ke kantor suami saya bekerja dan mengajukan permohonan saya. Memang awalnya, mereka, pihak manajemen, cukup ragu. Bagaimana mungkin perempuan bisa melakukan pekerjaan mencatat meter dan berkeliling dengan rutinitas yang sangat padat. Saya bersikukuh. Dicoba dulu saja, Pak. Akhirnya mereka meng-iya-kan. Uji cobanya 3 bulan. Saya sangat bersungguh-sungguh berusaha untuk bisa melakukan pekerjaan itu. Awalnya memang susah. Tapi lama-kelamaan juga bisa. Pokoknya saya melakukan itu semua demi anak. Demi masa depan mereka. Demi mereka bisa mendapatkan Pendidikan yang baik.”
Peserta
diskusi mengamati dan menyimak dengan khidmat. Harus diakui perjuangan Bu Retno
memang cukup berat. Menurut pengakuan Bu Retno, di awal, banyak tetangga yang
mencibir. Bu Retno melanjutkan, “Tapi ya mau bagaimana lagi, ini sudah menjadi
tuntutan hidup, saya harus bekerja. Saya harus semangat, saya harus bekerja
keras untuk anak-anak agar bisa sekolah sampai selesai.”
Bu
Retno tak lupa mengingatkan kepada semua yang hadir. Dalam pekerjaan, menjadi
penting untuk berserikat, untuk berorganisasi. Karena dengan demikian kita bisa
mengetahui hak-hak dan berjuang untuk keadilan serta kesejahteraan yang memang
menjadi hak dan tujuan kita.
Sembari
tetap santai mengikuti diskusi, beberapa orang terlihat mengambil teh hangat,
meminum kopi, dan menikmati jajanan sederhana yang terhidang di hadapannya. Momen
kekeluargaan terasa begitu kental. Rasanya seperti sedang berada di rumah
sendiri.
Diskusi
menjadi semakin terfokus dengan adanya moderator yang memandu acara. Izza,
Mahasiswa PPS IKS, mengambil peran itu dan mengarahkan forum menjadi aktif serta
penuh antusias. Beberapa kali Izza melemparkan pertanyaan dan respon kepada
narasumber dan peserta diskusi untuk memberi penajaman pada poin-poin
pendiskusiannya.
Selanjutnya,
ada narasumber dari Kanal Muda untuk memberikan perspektif lain. Secara singkat,
Kanal Muda ini adalah wadah organisasi jejaring kepemudaan yang berjuang untuk Pendidikan
dan sosial. Wilayah sebaran organisasi jejaringnya ada di provinsi Yogyakarta
dan sebagian Jawa Tengah. Kali ini ada Dua perwakilan perempuan dari Kanal Muda
yang ikut memberikan gagasannya. Mereka adalah Ida dan Yesi.
Ida
mengawali sesi dari Kanal Muda. Ida adalah kepala sekolah di Paguyuban Pengajar
Pinggir Sungai (P3S) yang tergabung dalam jejaring Kanal Muda. Kegiatan P3S
berfokus pada layanan memberikan bimbingan belajar gratis untuk anak-anak. Mayoritas
dari anak-anak ini adalah anak dari para pekerja informal. Ida menceritakan
interaksi sehari-harinya berhadapan dengan mereka. Anak-anak di pinggiran
sungai Codhe ini memiliki kendala untuk mengakses bimbingan belajar yang
bebayar, sehingga P3S hadir di sana. Ida juga menceritakan peran orang tua dari
anak-anak ini yang bekerja dalam sektor informal. “Mereka”, kata Ida, “Ibu-ibu
dari anak-anak ini terbukti melakukan peran gandanya dengan sungguh-sungguh. Mereka
bekerja sebagai buruh cuci dan tetap mengurusi hampir semua urusan rumah
tangga. Peran sosial dari kita semua, terutama pemuda, untuk memperhatikan ini
menjadi hal yang harus diseriusi. Terutama menyangkut pendidikan anak. Hal ini
memungkinkan kita, para perempuan, para mahasiswa, para relawan, untuk belajar
langsung dari kenyataan itu dan mengupayakan peran terbaik yang bisa kita ambil
dan terus kita tingkatkan kedepannya.”
Ida
juga mengapresiasi kegiatan-kegiatan yang menempatkan perempuan dalam ruang diskusi
untuk mengembangkan diri. Terlebih jika ruang yang diusahakan tersebut adalah
serikat atau organisasi yang memang memiliki fokus perjuangan tentang hak-hak
perempuan.
“Saya
dibesarkan dengan kehidupan pedesaan dengan orang tua yang Alhamdulillah banyak
mendukung kegiatan-kegiatan saya. Jadi kampus saya, ATK itu, punya ikatan dinas
dengan pemerintah. Saya mendapatkan beasiswa untuk bisa berkuliah di sana. Saya
bertemu dengan banyak hal. Saya bertemu dengan banyak orang. Saya ingat dulu, bahkan
kota di kabupaten saya ini saja awalnya saya tidak pernah tahu. Pokoknya saya anak desa sekali lah. Nah dengan
berbagai kesempatan yang saya dapatkan ini, saya merasa peran perempuan dalam
berbagai hal ini menjadi begitu penting. Memang harus diakui, lingkungan
masyarakat saya yang beragam sedikit banyak belum bisa menerima perempuan yang
begitu aktif atas berbagai hal. Jadi ya ada saja yang mencibir. Ada saja yang
ngomongin. Tapi ya itu lingkungan sosial kita. Jadi tantangan buat kita. Saya
kadang mengumpamakannya sepeti kalau kita makan kerupuk di rumah, itu saja tetangga
sampai bisa dengar” ucap Yesi sambil disambut tawa dari peserta diskusi.
Yesi
melanjutkan dengan memberikan cerita pengalamannya mendampingi kelompok UMKM
yang berisikan perempuan-perempuan yang tangguh. Ia mendorong untuk perempuan-perempuan
agar lebih aktif. Terutama di zaman yang semakin berkembang. “Para perempuan harus berpikir lebih keras, bekerja
lebih keras, dan berjuang lebih keras. Perempuan memang harus bisa berperan seperti
itu. Harus adaptif.”
Selepas
ketiga narasumber menyampaikan perspektifnya, beberapa respon saling
bersahutan. Ada yang bertanya dan berkomentar. Ada juga yang menyimak dengan diam
seperti sedang larut pada permenungan mendalam.
SPLAS
menjadi bagian penting dalam kegiatan diskusi ini. SPLAS sebagai serikat
pekerja listrik yang berisikan tenaga alih daya PLN di Solo Raya terbilang
sedang berusaha untuk memberikan peran aktif pada pekerja perempuan yang
tergabung di dalamnya. Tri Joko Susilo, Sekretaris SPLAS memaparkan berbagai
data dan temuannya. “Mendukung hak perempuan sudah menjadi keharusan dalam
berbagai hal. Pekerja perempuan di Solo Raya ini memang jumlahnya tidak lebih
dari 20 orang yang tercatat. Acara semacam ini akan membuat keterlibatan aktif
dari mereka bisa semakin terbangun. Terutama bagi kita semua, kaum pekerja,
yang memilih kebenaran serta terus memperjuangkannya.”
Sesi
selanjutnya menjadi semakin menarik. Forum ini dihadiri juga oleh istri dari
pengurus serikat SPLAS yang turut memberi komentar dan kesaksian atas apa yang
dilakukan dan diperjuangkan suaminya. Beberapa diantaranya bergiliran
memberikan respon dan pandangannya. Salah satu contohnya, Ibu Pur. Istri dari
Pak Pur, ketua rayon Sukoharjo.
“Soal
pekerjaan, saya pokoknya percaya pada bapak. Tapi ya itu, kadang waktu bapak
terbatas sekali dengan keluarga. kasus dan berbagai masalah yang dihadapi
membuat bapak menjadi sangat sibuk. seringkali anak-anak bertanya, kok bapak
belum pulang buk, ya saya jawab, bapak masih bekerja. mungkin dengan forum ini,
kita juga bisa menyampaikan kegelisahan, bahwa meskipun berjuang dengan sepenuh
tenaga, tetap sempatkan waktu untuk keluarga. Bapak juga sudah lama ini tidak
mengajak saya dan anak-anak buat piknik. Hehee.” Peserta diskusi menyambut
dengan tawa yang meriah dari kesaksian Bu Pur.
Tidak
ketinggalan pekerja pencatat meter perempuan yang tergabung dengan SPLAS menyampaikan
suka duka ketika bekerja di lapangan. seperti Mbak Dwi yang baru sekitar 5
bulan bekerja, menggantikan bapaknya yang pensiun. Pekerjaan pencatat meter ini
memang tidak mudah. Ada banyak sekali pelanggan yang harus kita datangi dalam
sebulan. Mbak Dwi bahkan di awal pekerjaannya masih harus didampingi bapaknya.
Cerita yang lain, dari Mbak Egi yang sudah 4 tahun menjadi pencatat meter,
meskipun tidak begitu terkendala dengan target, kenyataan di lapangan kadang mempertemukannya
dengan pelanggan yang suka ngeyel dan bermasalah. Sekali waktu, Mbak Egi bahkan
pernah mau ditampar oleh pelanggan yang bermasalah tersebut. Untungnya tidak
berselang lama, masalah tersebut bisa diatasi.
Pak
Pur ikut menyambung berbagai cerita yang sudah diutarakan. Pak Pur merespon
berbagai masalah yang telah diutarakan sebelumnya ini adalah tantangan yang
harus dihadapi bersama. Pak Pur menjelaskan pentingnya organisasi serikat
pekerja yang merupakan wadah untuk buruh berjuang Bersama-sama. Pak Pur menjelaskan
pentingnya perjuangan dan dinamika yang terjadi di dalamnya. Pak Pur mendorong
untuk semuanya bahwa perempuan harus dilibatkan penuh.
Waktu
terus berlalu. Banyak pelajaran dan poin-poin penting yang dikumpulkan dalam
diskusi ini. Bu Tri, Istri dari Tri Joko Susilo terlihat antusias dan ikut
memberikan pendapatnya.
“Di
pengalaman saya, Ketika perempuan bekerja dan berumah tangga, dia masih sibuk
memikirkan banyak hal. Tidak mungkin bisa hanya fokus bekerja saja. Budaya
bekerja mempengaruhi keberlangsungan hidup perempuan. Ada banyak kasus yang
pernah saya temui, misalnya begini. Ketika suami dan istri sama-sama bekerja
namun gaji yang didapat istri lebih tinggi dari suami, di sana banyak terjadi
diskriminasi ke laki-laki. Karena gaji perempuannya lebih banyak, ada
kecenderungan semacam itu. Di posisi ini, ketika laki-lakinya kurang
bertanggungjawab terhadap kehidupan rumah tangga, prahara atau permasalahan
akan sering terjadi. Istri akan cenderung tidak ambil pusing karena dia bisa
hidup dengan anak-anaknya sendiri. Oleh karena itu, komunikasi dalam keluarga
ini penting sekali. Dan mengenai perjuangan teman-teman SPLAS, saya ini mengikuti
Mas Tri sejak di perusahaan Vendor pertamanya yang mau berakhir, saya tahu
betul perjuangan Mas Tri dan teman-teman di perusahaan vendor yang selanjutnya.
Saya mendukung penuh aktifitas yang dilakukan Mas Tri. Jika organisasi memang
mendasarkan kebenaran dalam perjuangannya, organisasi akan tetap fokus dan bisa
berhasil mencapai tujuannya. Seperti halnya contoh tentang kebijakan ngawur uang
jaminan dari perusahaan Vendor. Saya mengajak Mas Tri berdiskusi. Dan saya yang
tegas menolak pertama kali untuk menerima kebijakan itu. berapa pun nominalnya.”
Tidak
terasa acara sudah sampai di penghujung. Moderator mencatat dan menyampaikan
poin-poin yang nantinya bisa dijadikan rencana tindak lanjut. Dan dengan cukup
mengejutkan juga, acara diskusi kali iini ditutup dengan pembacaan puisi.
pembacanya adalah Ibu Pur. Sayup-sayup terdengar alunan musik instrument yang menjadi
pengiring dari untaian kalimat yang dibacakan. Dalam puisinya, Bu Pur
melukiskan peristiwa bagaimana kopi yang diminum suaminya belum habis, tapi
suaminya sudah harus bergegas. Tentang bagaimana keluarga sangat menunggu
kedatangannya. tentang keluarga yang senantiasa berdoa untuk keselamatan dan
perjuangannya.
Sementara
itu, Pak Pur, dari tempat duduk yang tidak jauh dari sana. Matanya,
berkaca-kaca. (mh)
Sukoharjo, November 2021