Setahun UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja


Oleh: Indrasari Tjandraningsih*

Hari ini tepat satu tahun UU Cipta Kerja yang amat kontroversial, berlaku. Kontroversial karena prosesnya yang tertutup dan substansinya yang degradatif bagi pekerja. UU ini bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja dengan cara melonggarkan berbagai aturan yang dianggap menghambat investasi.

Salah satu aturan yang dilonggarkan karena dianggap menghambat investasi adalah aturan tentang ketenagakerjaan menyangkut hubungan kerja dan syarat yang mengikutinya. Aturan tentang ketenagakerjaan dicantumkan dalam UU tersebut di Bab IV Ketenagakerjaan. Pelonggaran aturan ketenagakerjaan bertujuan untuk menekan biaya tenaga kerja.

Sesuai dengan amanatnya, tepat 3 bulan kemudian pada 2 Februari 2021 diundangkan 4 PP (Peraturan Pemerintah) untuk melaksanakan aturan-aturan baru ketenagakerjaan. Ke-4 PP itu adalah PP 34 tentang TKA (Tenaga Kerja Asing), PP 35 tentang hubungan kerja, PP 36 tentang Pengupahan dan PP 37 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan.

Sebagaimana proses pembentukannya yang sangat cepat di tengah pandemi Covid-19, secepat itu pula UU ini dilaksanakan.

Di tingkat perusahaan, terjadi perkembangan menarik. Manajemen perusahaan menjadi proaktif mengajak Serikat Pekerja untuk merundingkan PKB (Perjanjian Kerja Bersama) agar disesuaikan dengan UU yang baru. Sebelumnya, Serikat Pekerjalah yang proaktif mengajak manajemen untuk merundingkan PKB.

Sebagai catatan, PKB adalah kesepakatan antara manajemen dengan Serikat Pekerja mengenai hak dan kewajiban kedua belah pihak serta aturan-aturan tentang hubungan kerja dalam sebuah tempat kerja yang dicapai melalui proses perundingan.

Antusiasme manajemen untuk mengubah PKB muncul karena aturan-aturan yang baru tentang kewajiban perusahaan menyangkut hak pekerja berimplikasi terhadap turunnya biaya tenaga kerja. Di sisi Serikat Pekerja itu berarti penurunan hak pekerja. Berkurangnya hak adalah sebuah kondisi yang tidak diinginkan oleh siapapun. Di titik ini potensi konflik muncul.

Di titik ini pula pertanyaan muncul. Jika hubungan kerja menjadi rawan konflik, investor mana yang tertarik berinvestasi sebagaimana menjadi maksud utama UU Cipta Kerja dibuat?

Pertanyaan lain yang muncul adalah apakah UU ini memang bermaksud mengundang investasi yang mengandalkan biaya tenaga kerja rendah? Jenis investasi apa yang menjadi prioritas pemerintah? Pertanyaan yang sudah diajukan kepada pembuat UU ini, belum mendapatkan jawabannya.

Sebagai sebuah UU, aturan-aturan ketenagakerjaan di dalamnya berlaku untuk setiap warga negara yang berstatus pekerja.
Bukan hanya untuk anggota Serikat Pekerja yang menjadi motor penggerak utama yang pertama kali mengangkat isi aturan ketenagakerjaan tersebut sejak masih berbentuk RUU, menjadi pengetahuan publik.

Saat ini gugatan uji formil dan materiil terhadap UU Cipta Kerja yang diajukan oleh Serikat Pekerja sedang berproses di Mahkamah Konstitusi (MK).  Hari-hari ini kita menunggu hasil keputusan majelis hakim MK terhadap uji formil.

Bacaan pelengkap:



*Penulis adalah peneliti dan dosen