Tentang Tiga Foto Hitam Putih Perempuan Pada Kongres Ke-2 KPBI

Oleh: Indiera Hapsari Ratih*

SERBUK bersemangat hadir dan terlibat pada Kongres ke-2 KPBI yang diadakan di Jakarta pada tanggal 28-30 Januari 2022. Seperti biasa, udara di Jakarta yang penuh sesak seketika terobati saat kami disambut hangat oleh kawan-kawan dari berbagi Federasi dari berbagai penjuru kota. Sebelumnya, di situasi wabah covid, kami lebih sering bertemu secara virtual.

Melakukan pendidikan, diskusi, rapat, saling berkabar secara daring, bertukar foto terbaik, dan berbagi lelucon tak ubahnya seperti sayap yang tumbuh begitu saja dalam rangka mengatasi jarak. Perjumpaan fisik tetap memungkasi muaranya. Sukacita dan keharuan membaur pada ruangan dengan lampu besar yang riuh dan terang. Lanskap lainnya: lantai berkarpet merah, dekorasi banner, bendera dan foto tokoh-tokoh penting bagi perjuangan buruh yang menyita perhatian. Mereka, foto-foto dalam bingkai besar itu, terpasang pada dinding tembok ruangan kongres. 

Tentu saja instalasi foto tersebut mempengaruhi pandangan dan kesadaran. Mengingatkan betapa perjuangan telah berlansung begitu lampau dan panjang. Perjuangan terjadi di mana saja. Di sekitar kita. Juga di berbagai belahan dunia yang letaknya jauh di sana. 

Sambil mengepalkan tangan, di ruangan ini sesekali kami memekik kencang sebagai simbol kesanggupan berjuang. Mungkin saja, suara kelewat kencang itu membuat foto-foto di tembok ikut bergetar. Bukankah suara mempengaruhi getaran? Mempengaruhi gelombang frekuensi? 

Foto hitam putih tersebut, Tiga di antaranya adalah tokoh perempuan yang hingga akhir hidupnya tidak berhenti berjuang. Mereka telah tiada, namun api semangatnya tetap menyala hingga kini. Mereka adalah Marsinah, Clara Zetkin dan SK Trimurti. Mengingat lagi tentang mereka sudah seperti mengambil lagi tumpukan kayu di perapian. Kobaran apinya kembali menyala-nyala. 

MARSINAH

Ia adalah buruh perempuan yang bekerja pada perusahaan pembuat arloji di Sidoarjo, Jawa Timur. Marsinah lahir di Nganjuk pada tanggal 10 April 1969. Ia anak ke dua dari 3 bersaudara. Ibunya meninggal saat usianya 3 tahun. Selepas SMA, Marsinah pergi merantau ke Surabaya untuk mencari kerja. 

Oleh kawan-kawannya Marsinah dikenal sebagai sosok pemberani dalam membela rekan-rekan sesama buruh yang diPHK sepihak dan diperlakukan tidak adil oleh perusahaan. 4 Mei 1993 Marsinah berorasi sekaligus memimpin aksi protes menuntut kenaikan upah dari Rp. 1.700,- menjadi Rp. 2.250,-

Pada 5 Mei 1993 Marsinah diculik dan disiksa sekelompok orang. Tanggal 9 Mei jasad Marsinah ditemukan dalam kondisi mengenaskan di sebuah gubuk di daerah Nganjuk, sekitar 200 km dari tempatnya bekerja. Marsinah mati, menjelma arti. Keberaniannya menginspirasi.

CLARA ZETKIN

Semasa kanak-kanak, setiap berangkat dan pulang sekolah ia melewati pabrik-pabrik. Ia resah menyaksikan buruh-buruh berdesakan, terlihat lelah, dan bekerja teramat keras di bawah cerobong asap pabrik.

Ia melihat sendiri bagaimana buruh bekerja tidak layak, tertekan, dan dihinggapi berbagai masalah kesehatan. Kondisi tersebut sangat membekas di ingatannya. Kelak, pengalaman masa kecilnya inilah yang membuatnya habis-habisan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk kepentingan perjuangan buruh. 

Clara Zetkin lahir pada 5 Juli 1857 di Jerman dengan nama asli Clara Eissner. Clara bersekolah sebagai guru di kota Leipzig. Di kota tersebut Clara Eissner bertemu dan menjalin hubungan dengan Ossip Zetkin, salah satu aktivis kiri Rusia. Akhirnya mereka menikah dan Clara mengikuti marga suaminya.

Pada tahun 1910 diadakan Konferensi Buruh Perempuan Internasional jilid 2 di Denmark. Pada konferensi tersebut Clara Zetkin adalah pencetus ide Hari Perempuan Internasional. Konferensi dihadiri lebih dari 100 perempuan dari 17 negara.

Clara Zetkin adalah pemimpin Kantor Perempuan Sosialis. Ia seorang juru kampanye yang gigih. Namun perlu diingat, meskipun Clara pencetus Hari Perempuan Internasional yang kini dirayakan setiap tanggal 8 Maret, ia bukan semata feminis, ia tetap berpandangan bahwa perjuangan kelas adalah penentu dan satu-satunya gerakan yang dapat menjawab kebutuhan dan persoalan perempuan kelas pekerja. Semangat perjuangan perempuan tidak boleh terjebak pada pelestarian liberalisme ala kelas menengah atas yang mengilusi perjuangan perempuan di dalamnya. 

SK TRIMURTI

Perempuan Jawa berdarah biru ini lahir dari ibu yang memiliki gelar Raden Ajeng dan ayah yang seorang Raden Nganten dan masih memiliki kekerabatan dengan Kasunanan Surakarta, Jawa Tengah. Kenyataan kentalnya budaya feodalisme tidak menyurutkan pemikiran, tulisan, dan pergerakannya melawan kolonialisme. Ia terus mengkritisi pemerintahan dan menulis isu perempuan di kolom Mak Ompreng.

Bernama lengkap Surastri Karma Trimurti, lahir 11 Mei 1912 di Boyolali, Jawa Tengah. Ia menempuh pendidikan sebagai Guru, kemudian mengambil kuliah Studi Ekonomi, dan aktif sebagai jurnalis. Pada usia 18 tahun ia aktif di gerakan kemerdekaan. Pada usia 21 ia bergabung dengan partai setelah mendengar pidato Ir. Soekarno. Nantinya, Soekarno adalah sosok utama yang membuatnya produktif menulis.

Pada mulanya ia mengajar sebagai guru. Berpindah-pindah mengajar di Bandung, Surakarta, dan Banyumas. Trimurti pernah menyebarkan tulisan anti kolonial yang membuatnya ditangkap pemerintahan Belanda. Hal ini mengakibatkannya dipenjara selama 9 bulan di Semarang.

Setelah bebas dari penjara, ia beralih dari mengajar dan fokus ke jurnalistik. Sebagai wartawan, ia sering memakai nama samaran. Ia menulis di berbagai surat kabar dan mempengaruhi cara pandang kritis masyarakat pembaca. 

Paska kemerdekaan, Trimurti lantang memperjuangkan hak-hak pekerja. Ia diangkat sebagai Menteri Tenaga Kerja pertama pada tahun 1947 hingga 1948. Trimurti juga aktif sebagai eksekutif Partai Buruh Indonesia dan memimpin di sayap perempuan.

Di masa mudanya, perempuan pemberontak tersebut pernah berniat melajang seumur hidup. Lantaran takut pertalian cinta akan menggugurkan partisipasi penuhnya pada garis gerakan perjuangan yang ia pilih. Namun akhirnya ia menikah dengan seorang aktivis pers yang sama-sama produktif di masa itu. Ia menikah dengan Sayuti Melik. Mereka sama-sama produktif dan kerap menulis bersama.

SK Trimurti meninggal di usia 96 tahun pada tanggal 20 mei 2008. Ia adalah perempuan pendidik, penulis, pejuang isu ketenagakerjaan, dan seorang yang sangat sensitif dengan isu dan persoalan perempuan. Ia mengajarkan pentingnya perempuan memikul tanggung jawab sosial, pentingnya berorganisasi, dan tentu saja: berpolitik. 



*Penulis adalah Anggota SERBUK Komite Wilayah Jateng-DIY. Ulasan ini dituliskan dari berbagai sumber.