#IWD2022: Perjuangan Cuti Haid di Tempat Kerja, Jalan Terjal Pekerja Perempuan

Oleh: Khamid Istakhori *) 

Building and Wood Workers’ International (BWI) mengambil tema penting bertajuk “We Build A Gender-Equal Future” dalam International Women’s International (IWD) 2022. Tema kesetaraan menjadi pilihan yang sangat relevan dengan upaya BWI untuk terus mendorong perlakuan yang semakin baik bagi pekerja perempuan, terutama di sektor konstruksi dan perkayuan, sebagai fokus pengorganisasian BWI. Membangun masa depan berbasis kesetaraan gender, dengan penekanan pada kepemimpinan perempuan serikat pekerja akan memastikan bahwa di masa depan pekerjaan dan gender akan saling berkaitan. Hal tersebut menjadi penting karena alasan pandemi Covid-19 yang merampas hak-hak pekerja serta perubahan lain yang disebabkan perkembangan teknologi, dan kebijakan negara yang semakin memojokkan pekerja perempuan. Staf Pendidikan BWI Asia Pasifik Najrinan Jalil menjelaskan bahwa tema kesetaraan akan menempatkan perempuan dalam posisi penting di serikat pekerja. “Pekerja perempuan harus mengambil peran signifikan dalam serikat pekerja untuk memastikan pemenuhan hak-hak dasarnya,” tegas Najrina dari Kuala Lumpur.

Sejak Kongres IV di Durban Afrika Selatan, BWI terus mengembangkan kampanye dan advokasi yang berkesinambungan untuk kesetaraan gender. Selain mendorong partisipasi 30% pekerja perempuan dalam berbagai aktivitas serikat pekerja dan kepengurusan serikat pekerja, BWI juga mendorong pemenuhan hak dasar di tempat kerja, termasuk di dalamnya berkaitan dengan hak kesehatan reproduksi. Hak kesehatan reproduksi pekerja perempuan meliputi hak cuti haid, hak cuti melahirkan, hak cuti keguguran, dan pojok laktasi. Hak kesehatan reproduksi bagi pekerja perempuan, sebenarnya telah diatur dalam berbagai regulasi; undang-undang dan aturan-aturan turunannya. Namun, pekerja perempuan mengalami kesulitan dalam mendapatkan hak tersebut

Cuti Haid dan Problem Serikat Pekerja

Berdasarkan hasil penelitian SERBUK Indonesia yang diterbitkan pada 2017, cuti haid merupakan permasalahan paling sering dihadapi oleh pekerja perempuan di tempat kerja. Selain permasalahan regulasi dan mandegnya pengawasan dalam pelaksanaannya, permasalahan mendasar yang terjadi justru disebabkan oleh internal serikat pekerja. Peneliti Institut Solidaritas Buruh Surabaya (ISBS) Domin Damayanti menyatakan bahwa kepedulian serikat buruh terhadap cuti haid masih rendah. Dalam pandangannya, serikat pekerja belum menjadikan cuti haid sebagai perjuangan penting serikat pekerja dan kepedulian yang rendah menjadikan posisi pekerja perempuan semakin termarjinalikan. “Kepedulian serikat buruh –bahkan di kalangan serikat buruh yang selama dikenal progresif– terhadap isu cuti haid sangat rendah. Mereka tidak menjadikan cuti haid sebagai isu utama dalam tuntutan serikat pekerja,” tegasnya.[1]

Ungkapan senada disampaikan oleh Koordinator Decent Work Working Group (DWWG) Mimmy Kowel yang mengatakan bahwa mayoritas pengurus serikat pekerja mamandang cuti haid tidak relevan sebagai isu utama dalam perjuangan serikat pekerja. Mereka menganggap cuti haid terbatas sebagai isu bagi pekerja perempuan saja, bukan masalah penting bagi serikat pekerja. “Pemahaman pengurus serikat pekerja terhadap hambatan dalam menjalankan cuti haid masih rendah sehingga mereka enggan mengadvokasi dan mendorong pemenuhan hak cuti haid di perusahaan,” ujar Mimmy.[2]

Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Perjanjian Kerja Bersama di 26 perusahaan, penelitian SERBUK menemukan bahwa sebanyak 85% atau 22 PKB, dalam pasal khusus yang mengatur cuti haid, isinya sama persis dengan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 81 ayat (1) menyatakan bahwa pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Ayat (2) kemudian menjelaskan terkait pelaksanaan teknis yang menyatakan bahwa pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Lebih rinci, penelitian SERBUK menemukan pengaturan cuti haid di berbagai PKB tersebut sebagai berikut:[3]

  1. Pasal di dalam PKB sama persis dengan pasal yang ada di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Seharusnya pasal di dalam PKB nilainya harus lebih tinggi dibandingkan undang-undang.
  2. Pasal di dalam PKB disalin dari PKB serikat buruh lain tanpa paham substansi hak cuti haid.
  3. Pasal di dalam PKB tidak pernah disosialisasikan kepada anggota karena anggapan bahwa cuti haid tidak lebih penting dibandingkan masalah pengupahan, kontrak dan outsourcing, dan isu lainnya.
  4. Pasal di dalam PKB lebih bagus dibandingkan Undang-undang Ketenagakerjaan, tetapi tidak pernah dilaksanakan karena dibuat untuk memenuhi persyaratan audit yang dilakukan oleh buyer, suplier, atau untuk mendapatkan dokumen sertifikasi.
  5. Pasal di dalam PKB lebih rendah dibandingkan undang-undang. Kejadian ini menunjukkan bahwa serikat buruh tidak memahami prinsip PKB harus lebih tinggi dibandingkan dengan undang-undang.
  6. Pasal di dalam PKB menyatakan bahwa buruh yang sedang haid dianggap sebagai sakit; anggapan yang merugikan karena pada akhir tahun akumulasi ketidakhadiran itu akan diakumulasi sebagai faktor penilaian kerja.

“Salin tempel” pasal cuti haid tersebut mengonfirmasi bahwa serikat pekerja tidak mencoba mengatasi problematika pelaksanaan cuti haid di tempat kerja. Data ini menjelaskan bahwa serikat pekerja kita terlibat langsung dalam peminggiran atas hak-hak dasar pekerja perempuan, utamanya hak kesehatan reproduksi.

Cuti Haid dan Ketidakadilan Gender

Tersisihnya cuti haid dalam arus utama perjuangan serikat pekerja disebabkan adanya bias gender dan dominasi patriarki. Dalam serikat pekerja, problem patriarki bukan saja disebabkan dominasi pengurus laki-laki dalam struktur penting, tapi juga diperparah dalam level gagasan, keberpihakan, program kerja, dan perspektif.[4] Aktivis Perempuan Mahardika Vivi Widyawati menjelaskan bahwa perspektif patriarkis tersebut, bisa juga berasal dari perempuan. Vivi berpandangan bahwa dominasi patriarki harus dikikis habis dengan berbagai cara, salah satunya dengan meningkatkan sensitivitas gender. “Metodenya dapat dilakukan melalui pendidikan yang masif dan terus menerus untuk menanamkan kesadaran pada kesetaraan gender dalam serikat pekerja,” tutur Vivi.[5]

Hal senada juga tercermin dalam Catatan Akhir Tahun (Catahu) LBH Jakarta yang diterbitkan pada akhir 2017. Berdasarkan Catahu 2017 tersebut, setidaknya terdapat 223 pengaduan kasus perburuhan atau 4.565 pencari keadilan, tapi tidak satupun terkait cuti haid. Kosongnya pengaduan terkait cuti haid tersebut, bukan semata-mata tidak adanya kasus yang dialami oleh pekerja perempuan di berbagai perusahaan, tapi dalam kenyataannya, pekerja perempuan malas untuk mengadukan kasusnya atau merasa cuti haid bukan masalah besar yang harus diadvokasi seperti layaknya masalah upah, PHK, union busting, dll.

Di tempat kerja, temuan dalam penelitian SERBUK Indonesia menjelaskan bahwa pekerja perempuan mengalami hambatan-hambatan ketika hendak mengambil cuti haid. Permasalahannya sangat sering terjadi dan berlangsung secara sistematis, terus menerus. Berhadapan dengan mandor yang melarang mengambil cuti haid menjadi salah satu hambatan paling lazim yang dihadapi pekerja perempuan. Selain itu, pekerja perempuan juga mendapatkan tentangan dari personalia atau HRD dan petugas klinik di perusahaan. Mereka mensyaratkan adanya selembar surat dokter sebagai persyaratan untuk tidak bekerja karena sedang haid. Selembar surat dokter tersebut, tentu saja menjadi bukti adanya ketidakadilan yang dialami buruh perempuan. Anggapan bahwa cuti haid merupakan penyakit sehingga harus dibuktikan dengan surat dokter tentu saja merugikan pekerja perempuan.

 

Selain prosedur yang berbelit dan melilit pekerja perempuan, bentuk ketidakadilan gender termanifestasi dalam berbagai bentuknya di tempat kerja, salah satunya marjinalisasi pekerja perempuan.  Marjinalisasi yang paling lazim dialami pekerja perempuan ketika mengambil hak cuti haid adalah:

  1. Upah dipotong dengan alasan tidak bekerja atau no work no pay atau biaya pemeriksaan tersebut dipotong dari dana BPJS milik buruh.
  2. Membayar sendiri biaya periksa ke dokter untuk mendapatkan surat sakit. Hal ini dilakukan karena tidak ada klinik di tempat kerja atau menghindari pemeriksaan dari dokter perusahaan yang mempersulit pemberian surat dokter.
  3. Cuti haid diganti uang, tetapi jumlahnya lebih rendah dari upah per hari.
  4. Cuti haid digani dengan satu pack pembalut yang harganya lebih rendah dibandingkan upah per hari.
  5. Buruh kontrak yang cuti haid –dengan menyerahkan surat sakit dari dokter– mendapatkan penilaian kinerja yang tidak bagus sehingga kontraknya tidka diperpanjang.

Selain marjinalisasi, problem ketidakadilan gender yang dihadapi pekerja perempuan adalah:

1.    Stereotipe (label negatif) bahwa buruh perempuan yang cuti haid adalah pemalas. Buruh yang tidak masuk bekerja meskipun dengan alasan cuti haid mendapatkan stempel sebagai buruh yang malas dan produktivitasnya rendah. Selain label sebagai pemalas, pekerja perempuan juga merasa malu untuk membahas haid secara terbuka karena menganggap bahwa darah haid kotor, tidak pantas  dibicarakan secara terbuka dan merupakan hal yang sangat privat.

2.      Subordinasi atau anggapan bahwa cuti haid tidak penting. Menganggap cuti haid tidak penting itu sama saja dengan angggapan bahwa kesehatan reproduksi bagi buruh perempuan juga tidak penting. Kenyataan bahwa cuti haid dianggap sebagai isu nomor dua diketahui dengan berbagai fakta, antara lain: perusahaan tidak melakukan sosialisasi hak cuti haidnya pada buruh (tidak diberi buku PKB), cuti haid bukan isu utama serikat buruh, pengurus serikat buruh tidak paham masalah cuti haid karena lebih fokus memperjuangan isu lain seperti upah, kontrak/outsourcing, bonus, dan isu lainnya.

3.     Burden (beban ganda) juga dialami buruh perempuan yang sedang cuti haid. Kondisi ini dialami oleh pekerja perempuan yang sedang mengambil hak cuti haid. Meskipun sedang cuti haid, tapi beban mereka sebagai ibu rumah tangga tetap harus dijalankan.

4.    Violance (kekerasan) violance) juga dialami buruh perempuan ketika cuti haid. Kekerasan yang dialami oleh buruh perempuan itu, bentuknya:

a)   Psikologis buruh perempuan diserang oleh mandor, HRD, atau supervisor dengan cara: dimaki, dibentak, dihukum berdiri di depan line produksi, tidak diberi pekerjaan.

b)    Diperiksa oleh satpam, atasan, atau dokter klinik untuk membuktikan sedang haid atau diminta menempelkan kapas pada alat kelamin untuk membuktikan adanya darah haid.

c)     Dipaksa bekerja meskipun merasakan sakit, nyeri, deman, dan bahkan sampai pingsan.

d)    Diberi obat pereda sakit, meskipun tidak tahu jenis obat tersebut.

e)  Waktu istirahat pendek sehingga kesulitan untuk ganti pembalut dan tidak tersedia cukup air bersih di kamar mandi untuk membersihkan haid.

 

Problem ketidakadilan gender yang dialami oleh pekerja perempuan dalam menjalankan cuti haid masih menjadi masalah serius hingg saat ini. Selain itu, serikat pekerja juga menjadi faktor penting dalam mendesak dan mendorong perubahan, uatmanya di tempat kerja. Momentum IWD 2022sebagai upaya mendorong lahirnya masa depan dengan kesetaraan gender di tempat kerja, semestinya menjadi pijakan untuk memulai kembali advokasi tersebut.   Memulai sejak hari ini, mengadvokasi hak cuti haid di tempat kerja, mengajak seluruh pengurus dan anggota serikat pekerja untuk merumuskan tuntutan penting terkait cuti haid adalah pilihan paling masuk akal untuk segera dikerjakan. Hal itu, setidaknya menjadi langkah yang lebih baik, ketimbang hanya emrutuki masalah yang ada.

 

Selamat memperingati Hari Perempuan Internasional 2022. Amandla!

 

*) Ketua Departemen Pendidikan dan Penelitian Federasi SERBUK Indonesia


NB. Tambahan Infografis by Khamid Istakhori









[1] Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Domin Damayanti, Peneliti dari Institute Solidaritas Buruh Surabaya (ISBS) pada 12 Desember 2017, di Jakarta.

[2]  Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Mimmy Kowel, Koordinator Decent Work Working Group (DWWG) melalui email.

[3] Berdasarkan Hasil Resume naskah PKB/PP dari berbagai perusahaan terkait pengaturan hak cuti haid di perusahaan. Sebanyak 20 PKB diteliti untuk mengetahui pengaturan cuti haid di perusahaan yang berasal dari sektor: garmen, elektronik, kimia dan farmasi, kertas, penambangan batu bara.

[4] Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Jumisih, Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) pada 9 Desember 2017, di Jakarta, pukul 14:36.

[5] Berdasarkan Hasil Wawancara melalui email dengan Vivi Widyawati, Aktivis Perempuan Mahardika, Jakarta.