#IWD2022: Suara Perempuan, Alarm yang Memanggil Aksi Kita

 


Oleh: Khamid Istakhori *) 

Tak terasa, peringatan Hari Perempuan Internasional/Internasional Women’s Day (IWD) 2022 akan segera datang. Peringatan IWD, selalu menjadi momentum istimewa bagi gerakan masyarakat sipil di seantero dunia. Mengutip tirto.id, sejarah IWD bermula dari aksi unjuk rasa kaum wanita di New York yang digalang oleh Partai Sosialis Amerika pada 1909. Aksi tersebut dipelopori oleh buruh perempuan di pabrik garmen dan tekstil di New York sebagai respon atas rendahnya upah dan tindakan semena-mena yang dilakukan majikan.

Sejarah Awal IWD

Seorang sejarawan dan Profesor yang banyak melakukan riset mengenai tema gender, seksualitas, dan implikasinya terhadap budaya populer di Spanyol, Temma Kaplan, dalam tulisannya yang berjudul “On the Socialist Origins of International Women's Day”, menyebutkan bahwa peringatan IWD dimulai sejak 8 Maret 1857. Namun, melalui aksi besar tersebut, perubahan signifikan belum terjadi. Lima puluh tahun berikutnya, pada 8 Maret 1907, mengutip The Feminism Book: Big Ideas Simply Explained (2019), aksi besar terjadi dengan melibatkan 15 ribu perempuan buruh pabrik tekstil di New York. Aktivis feminis Eropa, terutama di Perancis, menyebutkan bahwa peristiwa tersebut, kemudian berkembang sebagai tercetusnya Hari Perempuan Internasional.

Tepat dua tahun kemudian, digelar unjuk rasa besar-besaran oleh Socialist Party of America (SPA) atau Partai Sosialis Amerika di New York pada 8 Maret 1909. Tuntutan yang dikemukakan adalah hak berpendapat dan berpolitik. Gerakan ini dimotori Theresa Malkiel, aktivis perempuan kelahiran Rusia, tepatnya Ukraina. Sally M. Miller sebagaimana ditulis dalam From Sweatshop Worker to Labor Leader: Theresa Malkiel, A Case Study (1978) menyebutkan bahwa Malkiel tiba di AS pada 1891. Malkiel bekerja sebagai buruh pabrik garmen di New York sejak berusia 17 tahun. Aksi di New York itu memicu gerakan-gerakan serupa di beberapa negara Eropa pada 19 Maret 1909 dengan tujuan sama, yakni memperjuangkan hak pilih untuk kaum perempuan.

Dalam perkembangan gerakan feminisme modern, mengutip Jennifer Trainer Thompson dalam The Joy of Family Traditions (2011) menyebutkan partisipasi yang semakin membesar dalam aksi-aksi IWD. Setidaknya, lebih dari sejuta massa aksi di seluruh dunia. Kondisi kerja yang memburuk, keselamatan dan kesehatan kerja yanag rentan, berbagai musibah di tempat kerja, serta perlakuan buruk dari majikan di pabrik-pabrik garmen semakin menguatkan tekad bahwa kaum perempuan sedunia harus bergerak bersama demi kesetaraan. Pada 26 dan 27 Agustus 1910, diselenggarakan International Socialist Women's Conferences atau Konferensi Perempuan Sosialis Internasional di Kopenhagen, Denmark, yang dihadiri perwakilan dari puluhan negara di dunia.

Perjalanan untuk menetapkan tanggal yang tepat untuk memperingtati IWD mengalami  perdebatan yang panjang, terbelah dalam dua pilihan nantara 8 atau 19 Maret. Pertama, 8 Maret, sesuai dengan tanggal dilakukannya unjuk rasa kaum buruh perempuan di New York pada 1857, 1907, dan 1909. Sementara, pilihan kedua, opsi 19 Maret disandarkan pada aksi demonstrasi kaum perempuan secara serentak di beberapa negara di Eropa pada 19 Maret 1909, bahkan pada 19 Maret 1911. Lebih dari sejuta orang di Eropa hadir dalam aksi tersebut, meliputi sejumlah negara termasuk Austria, Hungaria, Denmark, Jerman, dan Swiss, demi mewujudkan hak politik, hak memilih, serta hak jabatan publik untuk perempuan. Kedua kelompok tersebut terus melakukan aksi pada tanggal yang mereka yakini sebagai peringatan IWD. Proses penetapannya juga mengalami pasang surut karena situasi internasional yang tidak stabil, salah satunya lantaran perang panjang pada masa-masa itu.

Akhirnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai memperingatinya walaupun belum ditetapkan secara resmi. Peresmian pada 8 Maret sebagai Hari Perempuan Sedunia terjadi dua tahun kemudian, yakni 8 Maret 1977, dan terus diperingati hingga saat ini.



BWI Global Union dan Seruan Mendesak IWD 2022

Menjelang peringatan IWD 2022, Building and Wood Workers’ International (BWI) menyerukan seluruh afiliasi di berbagai negara untuk memperingati IWD 2022 dengan berbagai agenda yang mendesakkan pengarusutamaan isu gender dan hak-hak dasar bagi pekerja perempuan. 2022 merupakan tahun penting bagi BWI yang akan menggelar Kongres Internasional pada akhir tahun di Madrid, Spanyol untuk mendesak agar isu gender menjadi prioritas di tempat kerja. Kampanye pemenuhan hak-hak pekerja perempuan dan kesetaraan gender, merupakan kemenangan selama empat tahun terakhir yang dilakukan di berbagai negara oleh afiliasi BWI.

Dalam seruannya, BWI mendorong agar afiliasi di berbagai negara melakukan kampanye secara masif selama seminggu dimulai pada 1 Maret 2022 dan berpuncak pada 8 Maret 2022. Tema yang diusung adalah “We Build A Gender-Equal Future” menegaskan arti penting perjuangan kesetaraan gender sebagai pola yang akan dibangun untuk masa depan kaum perempuan, utamanya pekerja di sektor konstruksi dan perkayuan sebagai sektor utama BWI. Kepemimpinan perempuan serikat pekerja akan memastikan bahwa di masa depan pekerjaan dan gender akan erat berkaitan, terutama di tengah ketidakpastian kebijakan global dan sifat pekerjaan yang terus berubah. Perubahan tersebut dikhawatirkan menyebabkan ketidaksetaraan gender yang semakin memburuk, terlebih dalam situasi pendemi COVID-19.

Dalam IWD 2022, BWI akan menyoroti pencapaian dan mendorong kesetaraan gender, terutama pada empat tema utama dalam kampanyenya: nilai perempuan dalam pekerjaan; mengakhiri kekerasan berbasis gender, perempuan dalam perdagangan, dan menghentikan budaya macho. Sejalan dengan hal tersebut, BWI mengajak afiliasi di berbagai negara untuk menggalang dukungan terhadap perjuangan hak-hak gender melalui konsolidasi pekerja perempuan di tempat kerja, menggelar kampanye yang masif secara online dan offline, menerbitkan pernyataan organisasi untuk mendesak pemenuhan hak-hak pekerja perempuan dan membangun masa depan yang setara gender.

Terkait dengan kekerasan berbasis gender, BWI menyerukan serikat pekerja afiliasinya untuk meningkatkan partisipasi dan kontribusi pekerja perempuan dalam serikat pekerja. Cara demikian, merupakan salah satu tindakan progresif dalam mendorong agar hak-hak pekerja perempuan menjadi arus utama dalam perjuangan dan tuntutan serikat pekerja, baik secara ekonomis maupun politis.

Mengutip ilo.org, kekerasan di dunia kerja dapat didefinisikan sebagai tindakan kekerasan di dunia kerja merujuk pada serangkaian praktek dan perilaku yang tidak diterima, atau ancaman terhadap pekerja, utamanya pekerja perempuan. Perisitiwa yang jamak terjadi, baik perisitiwa tunggal atau berulang, bertujuan menyebabkan atau mungkin berakibat pada fisik, psikologis, seksual atau kerugian ekonomi, dan termasuk kekerasan dan pelecehan berbasis gender. Sementara, InternationalLabour Organization (ILO) juga mendefinisikan kekerasan dan pelecehan berbasis gender sebagai kekerasan dan pelecehan yang ditujukan kepada orang-orang karena jenis kelamin atau gender mereka, atau mempengaruhi orang-orang dari jenis kelamin atau gender tertentu secara tidak berimbang, dan termasuk pelecehan seksual. Dalam tindakan yang diserukan BWI, kondisi ini menjadi semakin buruk, salah satunya, karena data kekerasan dan pelecehan yang tersebar dan belum terdokumentasi.

BWI juga menyerukan pentingnya ratifikasi Konvensi ILO 190 tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Ratifikasi Konvensi ILO 190 merupakan perjuangan berat bagi serikat pekerja karena kondisi yang tidak ideal di tempat kerja dan terbentur berbagai kebijakan negara yang tidak ramah gender. Kondisi tersebut, di antaranya: hukum dan kebijakan memiliki keterbatasan dalam mengatur kekerasan dan pelecehan dalam dunia kerja, isu kekerasan dan pelecehan belum dianggap isu penting untuk diangkat di tingkat pemerintah, serikat pekera dan pemberi kerja, dan penyelesaian kekerasan dan pelecehan yang dianggap belum jelas.


Indonesia: Kebijakan yang Semakin Mengancam Pekerja Perempuan

Seruan IWD 2022 yang disampaikan BWI, menjadi dasar bagi setiap afiliasi untuk menentukan tindakan dan fokus dalam melakukan aksi dan kampanye dalam IWD 2022. Bagi serikat pekerja (di) Indonesia, kesetaraan gender menjadi isu yang semakin relevan dan signifikan untuk terus diangkat ke permukaan, terutama karena upaya untuk terus membangun kesadaran gender belum terlalu menggembirakan. IWD 2022 diharapkan menjadi pijakan dalam membawa isu-isu gender sebagai isu penting yang selama ini hanya didominasi isu-isu ekonomis seperti upah, pekerja kontrak/outsourcing, dan kesejahteraan lainnya.

Dalam catatan SERBUK Indonesia, beberapa hal penting yang mendominasi ‘mandegnya’ kesetaraan gender antara lain:


1.     Kesadaran gender yang masih rendah di kalangan pekerja

Rendahnya kesadaran dan sensitivitas gender merupakan kondisi yang memprihatinkan saat ini. Berbagai perisitiwa harian di tempat kerja, bahkan dalam aktivitas serikat pekerja menunjukkan hal tersebut. Di tempat kerja, kejadian yang tak ramah terhadap pekerja perempuan masih terjadi dan cenderung dianggap sebagai peritiwa yang wajar. Mengutip glints.com disebutkan bahwa beberapa jenis pelecehan yang sering terjadi di tempat kerja adalah: a) diskriminasi gender; b) pelecehan seksual sesama jenis; c) sentuhan yang tidak pantas; d) pelecehan fisik; e) pelecehan verbal; f) pelecehan seksual oleh atasan; g) pelecehan quid pro quo (istilah berbahasa Latin yang berarti memberikan sesuatu ke seseorang dengan mengharapkan imbalan); h) pelecehan seksual oleh rekan kerja; dan i) penguntitan.

 

Kejadian-kejadian yang termasuk dalam kategori pelecehan tersebut, tidak semata terjadi di tempat kerja yang rentan seperti pabrik, proyek kontruksi, atau tempat-tempat kerja yang terisolir, tapi juga terjadi di berbagai institusi yang semestinya aman karena mudah diakses oleh publik. Sebut saja kejadian yang sangat viral belakangan yang menimpa MS, salah satu pegawai di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Tirto.id menyebutkan bahwa MS menjadi korban perundungan para senior tempatnya bekerja. Para senior itu melakukan berbagai macam perundungan terhadap MS; mereka memukuli, menelanjangi dan memotret kelamin, memaki secara rasisme, memfitnah orangtua. Semua kejadian tidak mengenakan itu terjadi di kantor KPI Pusat sejak MS bekerja di sana pada 2011. Kalau di KPI, lembaga negara yang semestinya aman saja masih terjadi pelecehan bertahun-tahun, tentu di tempat lain, kondisinya lebih gelap dan suram.

 

2.     Minimnya partisipasi dan kontribusi pekerja perempuan dalam serikat pekerja

Serikat pekerja kita, belum menjadi tempat yang nyaman bagi perempuan untuk menjalankan aktivitasnya. Meskipun berbagai kebijakan yang ditetapkan telah memberikan afirmasi bagi pekerja perempuan untuk terlibat dalam berbagai aktivitas serikat pekerja, tapi dalam kenyataannya, kondisi ideal belum tercapai sepenuhnya. SERBUK Indonesia memiliki contoh nyata atas kondisi ini. Meskipun statuta SERBUK Indonesia menyebutkan ‘kewajiban’ menyertakan 30% pekerja perempuan dalam berbagai aktivitasnya, tapi pada kenyataannya tidak mudah diimplementasikan.

 

Laporan akhir tahun SERBUK Indonesia menunjukkan data bahwa sepanjang 2021, pekerja perempuan yang terlibat dalam pendidikan sangat minim, hanya sebesar 11% (70 pekerja) dari total sebanyak 594 peserta pendidikan yang terlibat. Demikian juga dalam rekrutmen anggota baru, hanya sebesar 3,8% pekerja perempuan yang berhasil direkrut dari total rekrutmen anggota baru sebanyak 1.259 orang pada 2021. Jumlah pengurus perempuan yang tergabung secara nasional dalam Komite Eksekutif juga menunjukkan data serupa, hanya ada 2 orang pengurus perempuan yang aktif dari total 19 orang Komite Eksekutif.

 

Minimnya jumlah, partisipasi, dan kontribusi pekerja perempuan tersebut, pada gilirannya berpengaruh terhadap upaya-upaya serikat pekerja untuk mengarusutamakan isu-isu gender dan hak-hak dasar pekerja perempuan dalam program kerjanya. Kondisi tersebut, cepat atau lambat akan meminggirkan kekuatan pekerja perempuan sebagai salah satu pilar penting terbentuknya serikat pekerja yang kuat di tempat kerja, regional, hingga nasional.

 

3.     Hak-hak dasar perempuan yang semakin terpinggirkan

Selain hak dasar mengenai upah, kesempatan kerja, dan jaminan sosial, hak lain yang mendesak untuk diwujudkan adalah hak kesehatan reproduksi pekerja perempuan. Hak kesehatan reproduksi pekerja perempuan meliputi hak cuti haid, hak cuti melahirkan, hak cuti keguguran, dan pojok laktasi. Hak kesehatan reproduksi bagi pekerja perempuan, sebenarnya telah diatur dalam berbagai regulasi; undang-undang dan aturan-aturan turunannya. Namun, pekerja perempuan mengalami kesulitan dalam mendapatkan hak tersebut.

 

Sebagai contoh, hasil riset SERBUK Indonesia pada 2017 menyebutkan bahwa hak cuti haid bagi perempuan sangat susah dilaksanakan. Ketentuan mengenai cuti haid diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Pasal 81 ayat (1) menyatakan bahwa pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Ayat (2) kemudian menjelaskan terkait pelaksanaan teknis yang menyatakan bahwa pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. UU Ketenagakerjaan pasal 81 ayat (1) memberikan beban pada Buruh Perempuan sebagai untuk berusaha sendiri, yakni apabila merasakan sakit pada hari pertama dan kedua haid dan memberitahukannya, tidak diwajibkan bekerja. Sedangkan, pasal 81 ayat (2) menempatkan buruh perempuan berhadapan langsung dengan majikan; melalui negosiasi tidak setara. Ketidaksetaraan tersebut disebabkan posisi majikan yang menguasai alat produksi sangat dominan sehingga bisa memaksa buruh perempuan untuk  tunduk.

 

Kesulitan dalam implementasi UU Ketenagakerjaan tersebut juga tidak dapat dipecahkan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang dirundingkan oleh serikat pekerja dengan manajemen perusahaan. Berdasarkan riset yang dilakukan pada 2017 terhadap 26 PKB dari 26 perusahaan multi sektor (garmen, pertambangan, otomotif, makanan/minuman, kesehatan, dll), SERBUK Indonesia menemukan data bahwa 85% di antaranya hanya menyalin isi pasal terkait cuti haid dalam UU Ketenagakerjaan. Artinya, 22 PKB yang dihasilkan dalam perundingan, tidak mencoba mengatasi problematika pelaksanaan cuti haid di tempat kerja. Data ini mengonfirmasi bahwa serikat pekerja kita terlibat langsung dalam peminggiran atas hak-hak dasar pekerja perempuan, uatamanya hak kesehatan reproduksi.

 

4.     Berbagai kebijakan negara yang anti terhadap perempuan

Gugatan terhadap Omnibus Law Uncang-Undang Cipta Kerja (UUCK) dan situasi pandemi Covid-19, menyisakan cerita menyesakkan bagi pekerja perempuan. Dampak nyata pemberlakuan UUCK dirasakan semua pekerja di Indonesia dan beban terhadap pekerja perempuan berlipat rasanya. Selain beban ganda bagi pekerja perempuan dalam situasi pandemi, UUCK juga memberikan tekanan lebih besar kepada mereka. Saat pandemi, pekerja perempuan yang bekerja dari rumah (work from home) harus menanggung pekerjaan yang lebih berat. Selain menyelesaikan pekerjaannya, mereka juga harus ‘bersiaga’ 24 jam untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga.

 

Tempo.co pada 20 Agustus 2021 melansir catatan kekerasan yang dihimpun oleh Polda Kalimantan Selatan atas meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan anak selama pandemi; jumalhnya mencapai 60%. Pemberitaan tersebut menyebutkan bahwa selama 2021, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Subdit 4 Renakta Ditreskrimum Polda Kalsel menangani 147 kasus terdiri dari 68 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 79 kasus anak. Sedangkan selama 2020, total ada 214 kasus terdiri dari kekerasan terhadap perempuan 94 kasus dan terhadap anak 120 kasus. Berbagai tindakan kekerasan tersebut, sebagian besar dipicu oleh faktor ekonomi.

 

Secara nasional, berbagai kebijakan yang diterbitkan pemerintah juga tak ramah terhadap perlindungan perempuan. Selain lahirnya UUCK dan berbagain turunannya yang menyengsarakan pekerja perempuan, ancaman terhadap perempuan juga berpotensi terjadi dengan kebijakan-kebijakan negara yang tidak memihak perempuan. Dua di antaranya adalah menggantungnya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU Perlindungan PRT) dan semakin kaburnya nasib Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang belum juga disahkan, padahal RUU ini sudah diusulkan oleh Komnas Perempuan sejak Tahun 2012 lalu.

 

Sejak pertama kali diusulkan ke Dewan Perwakilan Rakyat pada 2004 silam, RUU Perlindungan PRT masih belum menemukan jalannya untuk jadi payung hukum bagi para pekera rumah tangga. Meski belakangan sudah masuk ke Prolegnas Prioritas, namun nasibnya masih juga tak jelas. Memperingati Hari PRT Internasional pada 16 Juni 2021, para pengusul RUU ini, mulai dari Jala PRT hingga Komnas Perempuan, kembali menegaskan urgensi payung hukum bagi para pekerja rumah tangga. Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, mengatakan bahwa semakin hari, resiko ketidakadilan, peminggiran, hingga diskriminasi terhadap PRT semakin tinggi. Menurutnya, kondisi tersebut menegaskan adanya bias gender, budaya patriarki, feodalisme, bias kelas, dan bias ras juga.

 

Terkait RUU PKS yang telah telah resmi masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), situasinya tidak jauh berbeda. Setelah sebelumnya sempat dikeluarkan pada 2020, nasibnya juga masih mengkhawatirkan. Pengawalan terhadap RUU PKS menjadi sangat urgen mengingat kasus kekerasan seksual di Indonesia yang masih sangat tinggi. Pemberitaan media nasional juga didominasi oleh kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan pembelajaran, mulai dari sekolah dasar hingga pada perguruan tinggi, dan para pelakunya rata-rata dari para oknum guru hingga dosen. Hal-hal inilah yang membuat para korban takut untuk speak up terkait dengan kekerasan yang dilakukan oleh para oknum guru dan dosen. Berdasarkan data yang dirilis Komnas Perempuan, sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2019.  Jumlah tersebut naik sebesar 6 persen dari tahun sebelumnya, yakni 406.178 kasus dan pada tahun 2020 angka kekerasan terhadap perempuan mengalami penurunan sebanyak 299.911 kasus yang dapat dicatatkan pada tahun 2020, berkurang 31% dari kasus di tahun 2019 yang mencatat sebanyak 431.471 kasus.



Penutup

Marginalisasi terhadap kaum perempuan dan pekerja perempuan di tempat kerja yang semakin memburuk dan kebutuhan untuk terus menyuarakannya kepada khalayak, menjadi isu yang tak boleh padam, barang sedetik. Mengarusutamakan keberpihakan kepada kesetaraan gender dan pemenuhan hak-hak dasar bagi pekerja perempuan, sejatinya merupakan mandat konstitusi yang harus diusung oleh serikat pekerja. Menilik dari sejarah peringatan IWD dan berbagai perisitiwa yang menyertainya, selayknya kita menyambut seruan global yang disampaikan oleh BWI kepada serikat pekerja afiliasinya di berbagai negara untuk melakukan kampanye, advokasi, dan perjuangan global yang lebih besar lagi. Bagi BWI, suara itu akan semakin teramplifikasi, sebagai suara utama menuju Kongres V di Madrid, Spanyol pada akhir 2022. Bagi serikat pekerja afiliasi, seruan tersebut merupakan alarm yang meraung-raung di telinga kita. Harus segera disambut!

 

Selamat memperingati Hari Perempuan Internasional 2022. Amandla!

 

*) Ketua Departemen Pendidikan dan Penelitian Federasi SERBUK Indonesia