Privatisasi Listrik dalam Paradigma Minyak Goreng
Oleh: Andy Wijaya*
Kemarin, dari siang sampai senja membungkus malam, tak henti-hentinya kita dikejutkan oleh persediaan minyak goreng yang mulai memenuhi rak-rak minimarket, supermarket, sampai dengan hypermarket. Pun dengan warung-warung kelontong yang mulai menyediakan berbagai merk minyak goreng. Rasanya seperti tidak menyisakan jejak kalau negeri yang memiliki jutaan hektar perkebunan sawit ini selama beberapa bulan terakhir dirundung kelangkaan minyak goreng. Iya, minyak yang berasal dari buah-buah sawit itu.
Bahkan saking langkanya, tiap kali ada informasi penjualan selalu terjadi antrian orang yang berebut untuk mendapatkan minyak goreng. Di beberapa tempat sampai ada yang harus meregang nyawa.
Segala sesuatu yang tiba-tiba sewajarnya menimbulkan tanya; Ada apa ini?
Padahal kelangkaan di pasaran yang berujung pada kenaikan harga selama beberapa bulan terakhir, memaksa pemerintah mengintervensi pasar dengan mengatur Harga Eceran Tertinggi (HET), yaitu empat belas ribu rupiah per satu liternya. Agar pengusaha tidak rugi pemerintah mensubsidi selisihnya. Ya meskipun, kebijakan-kebijakan tersebut nyatanya tidak berhasil menormalkan keadaan. Minyak goreng tetap saja langka. Bahkan di beberapa tempat, minyak goreng yang bukan berasal dari kelapa sawit juga ikut-ikutan langka. Meskipun banyak orang juga curiga, jika benar-benar langka mengapa partai-partai politik itu bisa mendapatkan stok begitu melimpahnya untuk dijual murah.
Melimpahnya stok yang tiba-tiba itu kuat dugaan disebabkan oleh keputusan pemerintah yang melonggarkan aturan HET, melalui Surat Edaran Menteri Perdagangan No. 9/2022 pemerintah memutuskan mencabut aturan HET untuk minyak goreng kemasan sederhana dan premium, dan selanjutnya harga minyak goreng kemasan mengikuti mekanisme pasar. Namun, dengan alasan melindungi rakyat kecil dan UMKM pemerintah masih memberlakukan HET sebesar empat belas ribu rupiah untuk minyak goreng curah.
Sungguh-sungguh ajaib, dalam hitungan menit, stok minyak goreng kemasan langsung tersedia, tentu harganya tidak lagi empat belas ribu rupiah tapi hampir dua kali lipatnya. Pedagang kini mematok harga minyak goreng di kisaran dua puluh lima ribu rupiah per satu liternya.
Pertanyaan selanjutnya, apakah minyak goreng bersubsidi bisa tetap tersedia?
Kita pernah punya pengalaman dengan BBM. Umpama jenis BBM minyak goreng adalah premium atau bensin. Pemerintah memberikan subsidi untuk premium dengan dalih mempertahankan daya beli masyarakat lapisan bawah. Tapi coba dicek, di SPBU mana sekarang yang masih menjual bensin? Hampir tidak ada lagi yang menjual. Jika seperti itu yang akan terjadi, kebijakan membatasi HET minyak goreng adalah klise belaka. Dan pada akhirnya rakyat akan menebus minyak goreng sesuai dengan harga pasarnya.
Dari kasus kelangkaan minyak goreng di atas dan kemudian tiba-tiba menjadi stoknya melimpah, bisa ditarik kesimpulan, bahwa negara tidak akan bisa mengintervensi pasar dengan bermodalkan regulasi saja. Hukum besi ekonomi tetap berjalan, tidak ada pengusaha yang mau rugi, segala cara akan ditempuh meskipun itu melanggar peraturan.
Corak paradigma ini juga yang kita gunakan untuk memotret sektor ketenagalistrikan. Sekarang, ketenagalisrikan nasional dari sisi suplay (pembangkitan) ada dua pemain besar, yaitu PLN group (PLN dan anak usahanya) dan Independent Power Producer (IPP) yang dikelola swasta. Seperti kasus minyak goreng di atas, ketika kebijakan HET empat belas ribu dikeluarkan pemerintah (diduga) diabaikan pengusaha, dengan tetap menahan barang tetap berada di gudang, maka kelangkaan tetap terjadi di pasaran. Seumpama hal itu terjadi sekarang di sektor ketenagalistrikan, IPP tidak setuju dengan harga jual listrik yang ditetapkan pemerintah dan menghentikan produksi listriknya, rakyat tidak perlu khawatir karena pembangkit listrik milik PLN group akan tetap memproduksi listrik. Sehingga rakyat bisa tetap menikmati listrik. Entah di masa depan.
Berdasarkan rencana pemerintah, pembangkitan PLN group akan dijual secara bulking (dengan cara IPO subholding pembangkit) atau ketengan (monetisasi PLTU). Sehingga nanti sisi Suplay listrik (pembangkitan akan sepenuhnya dikuasai swasta. Merujuk kepada kegagalan pemerintah mengendalikan masalah minyak goreng di atas, maka ketika nanti pemerintah menetapkan harga jual listrik tapi IPP tidak mau dengan harga jual yang ditentukan oleh pemerintah, yang ada akan seperti sekarang, pemerintah nurut apa kata pengusaha, karena sudah tidak lagi memiliki kedaulatan sumber energi listrik. Kasus di pulau Nias 2016 adalah contoh kongretnya.
Minyak goreng, kalaupun langka, atau harganya tidak lagi bisa ditebus lagi, kita masih bisa mengolah makanan dengan cara yang lain, seperti, dikukus, digodok, atau dibakar. Tapi, kalau listrik sangat mahal karena dikuasai swasta? Bukan kah rakyat terpaksa harus tetap menebusnya? Dan seperti pembicaraan umum rakyat hari-hari ini, Entahlah mau dibawa kemana sebenarnya negeri ini.
*Penulis adalah Sekjen Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP)
Posting Komentar