Dimana AKHLAK-nya, Pak?

Oleh: Happy Nur Widiamoko*

Menteri BUMN Erick Tohir gencar melakukan sosislisasi mengenai filosofi 'AKHLAK' sebagai akronim dari Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif, sebagai nilai-nilai yang mesti dijadikan pegangan oleh seluruh insan di lingkungan perusahaan plat merah. Tanpa perlu penjelasan yang gamblang, tentu kita tahu maksud dari nilai-nilai tersebut baik belaka.

PT. PLN sebagai salah satu BUMN tentu saja tidak mau ketinggalan. Filosofi 'AKHLAK' ditempel besar-besar di tiap ruang sosialisasi yang ada di perusahaan listrik itu. Tidak lupa juga di tiap-tiap poster digital pengingat untuk konsumen, agar tertib membayar listrik, filosofi 'AKHLAK' tidak pernah alpa dibubuhkan.

Sebagai perusahaan yang memberi pelayanan kepada publik, komitmen tinggi kepada pekerjaan adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kepuasan pelanggan adalah yang utama, bukankah begitu yang sering kita dengar?

Sayangnya, seperti cerita yang terus berulang, komitmen pada pekerjaan tak selalu berbuah manis pada sisi kesejahteraan pekerjanya. komitmen PLN memberikan pelayanan yang prima pun tidak serta merta memperbaiki taraf hidup pelakonnya, yaitu para buruh Outsorcing yang sekarang disebut dengan Tenaga Alih Daya (TAD) PLN itu. Hari ini jumlah mereka mencapai, kurang lebih, seratus lima pulih ribu orang.

TAD PLN yang tersebar dalam puluhan vendor, bahkan mungkin ratusan perusahaan, mereka hanya menikmati upah sedikit di atas UMK. Menyedihkan sekali tentu saja. Mereka ini telah mengabdi kepada PLN belasan tahun dan bahkan sampai ada yang sudah bekerja selama tiga puluh tahun.

Katakanlah ia seorang TAD yang bertugas sebagai pembaca meter PLN di Purworejo, Jawa Tengah. Upah yang diterima setiap bulannya tidak lebih dari 2.113.000,-, tanpa perduli sudah berapa tahun ia bekerja. Miris sekali bukan?

Bahkan, semenjak diterbitkannya peraturan direksi (Perdir) PLN 02/2019 tentang Tenaga Alih Daya PLN, upah yang rendah (relatif) itu harus berkurang lagi. Dengan alasan efisiensi, direksi PLN mengubah struktur pengupahan untuk TAD. Imbasnya, hal ini justru mengurangi nilai upah yang sudah minim itu. Jika di peraturan lama Surat Keputusan Direksi (SKD) 500/2013 buruh Outsorcing PLN mendapatkan upah pokok sebesar (UMK+Koefisien 10-20% dari UMK + TMK). Sedangkan di aturan Perdir PLN 02/2019 upah pokoknya menjadi (UMK+TMK) saja. Upah memang tidak serta menurun ketika Perdir diberlakukan, PLN sangat menyadari besarnya resiko jika TAD mogok kerja, maka dari itu diberikanlah komponen pengganjal yang bernama Delta, yang nilainya sebesar selisih struktur upah antara SKD 500 dengan Perdir 02/2019.

Delta akan terus berkurang jika ada kenaikan UMK. Namun sepanjang TAD masih memiliki Delta di struktur upahnya ia tidak akan mendapatkan kenaikan Take Home Pay. Ironisnya dengan struktur upah yang baru itu, mayoritas TAD tidak naik upahnya untuk beberapa tahun ke depan karena memiliki Delta. Bahkan, jika kenaikan upah minimum terjadi seperti tahun 2022 terus, yang hanya naik 1,09%, maka petugas Pelayanan Teknik di ULP PLN Boyolali akan membawa pulang upah yang sama untuk enam atau tujuh tahun ke depan. Mengapa demikian? karena sekarang mereka masih memiliki Delta sebesar 300 ribu-an. Bagaimana jika Deltanya sampai 1 juta? Ya, berarti kebutuhan hidup TAD tidak boleh naik sampai 15 tahun. Wassalam!

Cukup sampai di sini? Tentu tidak, Masih ada lagi. Semenjak lahir Perdir 02/2019 itu beban pekerjaan TAD tambah berlipat. Jika sebelumya seorang Pencatat Meter PLN di ULP Rogojampi, Banyuwangi, dengan upah sedikit di atas UMK mengerjakan dua tugas, yaitu baca meter dan Tusbung, sekarang dengan struktur upah yang lebih rendah, mereka harus mengerjakan: baca meter, Tusbung, PDIL, CRM, PLN mobile, KCT, dan lain-lain. Berat sekali bukan?

Upah tetap, sedang pekerjaan nambah. Jadi, saya ulang pertanyaannya sekali lagi. Di mana AKHLAK-nya coba?

*Penulis adalah Wakil Bendahara SERBUK Indonesia dan Sekretaris SERBUK Komwil JATENG-DIY