Siaran Pers - Diskusi Revisi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Kerjasama LP3ES, CALS dan STHI Jentera, 15 April 2022

Diskusi diawali dengan Pembukaan dari Ketua Pengurus LP3ES, Prof. Didik J. Rachbini, dengan merespon singkat bahwa Revisi UU PPP dapat diuji dari kelakuan (tindakan), memperlihatkan praktik kartel di parlemen dan pemerintahan. Ia menambahkan, pimpinan DPR/MPR sudah sepakat untuk membuat “GBHN”, namun ada kepentingan penyelundup, bisa merefleksikan feodalisme, KKN, hingga abuse of power.  

Ledia Hanifa Amaliah (F-PKS, DPR RI), menyatakan ditemukan proses yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan, dan ini justru merusak marwah pembentuk UU-nya. Bahkan menurutnya, terjadi pengabaian terhadap prinsip kehati-hatian.  

Gagasan F-PKS adalah upaya mendorong pengaturan PPP yang berbasis elektronik, namun tidak boleh melemahkan anggota DPR dengan virtual. Dan inipun perlu dibatasi pelaksanaannya, agar tak mengambil wewenang DPR. Pembahasan Revisi UU PPP harusnya bisa lebih mendalam untuk memperkuat kepentingan publik terlibat. Bila terburu-buru, tentunya hanya mengulangi sejarah buruk, baik itu penghilangan, penyelundupan, dan pemaksaan frasa. Terkait kepentingan UU Cipta Kerja, jelas tak terhindarkan kepentingannya dalam merevisi UU PPP. Itu sebab posisi FPKS menolak untuk menyetujui. 

Nining Elitos (KASBI) menegaskan bahkan dalam pembahasan Revisi UU PPP memperlihatkan ada indikasi yang kuat prosesnya yang cacat, materinya liberalisasi, terjadi dan nyata sehingga mengancam kehidupan layak bagi buruh. Revisi UU PP ini juga bermasalah karena seakan DPR dan Presiden tidak menjawab persoalan yang menjadi akar masalah bagi buruh. Baginya, kekuasaan hari ini terlalu kuat dan tidak lagi melindugi hak warga negara, bahkan UU CK kian menjauhkan dari perlindungan hak. Sayangnya, di lapangan, dalam praktek meski UU Cipta Kerja masih polemik, realitasnya sudah sistematik menyasar ke buruh dengan begitu memudahkan PHK maupun skema upah murah.  

Feri Amsari (Koordinator CALS, PUSAKO FH UNAND) menjelaskan, saat ini pemerintah sungguh seakan memiliki niat jahat, yang bisa diukur dari tindakan dan kelalaian atau bahkan kesalahpahaman atas putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan pengujian formil. Catatannya adalah bahwa amar putusan MK 91 hanya memerintahkan perbaikan UU Cipta Kerja, namun yang terjadi pembentuk UU berencana merevisi sekaligus dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 

Pemerintah sendiri memang sedari awal, menurut Feri, sudah berniat mengabaikan. Hal ini ditandai dengan, pertama, Pembentukan Instruksi Mendagri Nomor 68 Tahun 2021 tentang Tindak Lanjut Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 atas Pengujian Formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kedua, Instruksi ini memerintahkan kepala daerah untuk menjalankan UU Cipta Kerja sebagai Tindak Lanjut dari Arahan Presiden. Ketiga, Pasal 185 UU Cipta Kerja memerintahkan PP wajib ditetapkan 3 bulan sejak UU itu berlaku [diundangkan 2 November 2020; Keempat, PP Bank Tanah ditetapkan dan diundangkan 29 April 2021, padahal aturan tersebut merupakan bagian dari dipersyaratkan UU Cipta Kerja.

Bagi Feri, revisi UU PPP hanyalah upaya "menghalalkan" UU Cipta Kerja yang "haram". Mengerjakannya hanya akan menambah dosa legislasi DPR dan Pemerintah.

Sedangkan Bivitri Susanti (STHI Jentera) menegaskan bahwa Revisi UU PPP tidak dimandatkan dalam Putusan MK 91. “Tidak ada dalam Amar Putusan maupun Pertimbangan Hukum. Walaupun salah satu alasan memang tidak dikenalnya metode omnibus. Ada di dalam Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion), yang tidak perlu dijadikan bahan rujukan kebijakan (walau baik untuk diskusi akademik).”

Menurut Bivitri, selain kepentingan dominan memuluskan Omnibus Law Cipta Kerja, ia mencatat kelemahan revisi yang justru akan menciptakan ketidakpastian hukum, yakni dirumuskannya “RUU yang telah disetujui dan masih terdapat kesalahan teknis penulisan, bisa dikoreksi oleh pimpinan AKD yang membahas dan Pemerintah yang diwakili oleh kementerian yang membahas” dan “RUU yang telah disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden dan masih ditemukan kesalahan teknis, bisa dikoreksi oleh Mensesneg dengan melibatkan pimpinan AKD DPR yang membahas.”

Sebagai pengakhir, Herlambang P. Wiratraman dari Pusat Studi Hukum dan HAM LP3ES dan Dosen HTN FH UGM, memberi refleksi lima hal. Pertama, Revisi UU PPP jelas sekadar melayani kepentingan Omnibus Law, ekonomi politik oligarki;  Kedua, Pembahasan Revisi UU PPP bermasalah, karena tidak patuh pada Putusan MK 91. Tidak pula menganggap penting standar dalam putusan peradilan (judicial precedence), khususnya terkait partisipasi bermakna 

Ketiga, karakter legislasi terkesan ugal-ugalan, niat jahat untuk tetap upayakan pengesahan ke paripurna: Keempat, konteks politik hukum legislasi otokratis, yang menempatkan Revisi UU PPP menambah daftar panjang, IKN, Otsus, dan Cipta Kerja. Hal demikian menegaskan karakter menguatnya otoritarian dalam bentuk baru. Kelima, bahwa UU PPP memperlihatkan tiga hal. 1. Anti sains, 2. Anti negara hukum demokratis; dan ke-3. Anti rakyat (mengingkari suara publik, dan ini bentuk nyata negara terus menerus mereproduksi kesewenang-wenangan yang dalam representasi formal ketatanegara sebagai represi melalui legislasi) 

Demikian catatan yang telah dibuat untuk bahan mengkritisi UU PPP. Sekaligus melengkapi bahan, silahk dicek laman berikut di youtube, https://youtu.be/86pv-JhBheE

Kontak person terkait siaran pers 

Herlambang P Wiratraman 082140837025