Haid Bukan Penyakit, Stop Intimidasi dengan Dalih Pengecekan Haid!

Oleh: Firman*

Dilansir dari Wikipedia, menstruasi, haid, atau datang bulan adalah perubahan fisiologis dalam tubuh perempuan yang terjadi secara berkala. Kondisi ini dipengaruhi oleh hormon reproduksi baik FSH-Estrogen atau LH-Progesteron. Periode ini penting dalam hal reproduksi.

Pada perempuan, siklus menstruasi rata-rata terjadi sekitar 28 hari. Walaupun hal ini berlaku umum, tetapi tidak semua perempuan memiliki siklus menstruasi yang sama, kadang-kadang siklus terjadi setiap 21 hari hingga 30 hari. Biasanya, menstruasi rata-rata terjadi 5 hari, kadang-kadang menstruasi juga dapat terjadi sekitar 2 hari sampai 7 hari paling lama 15 hari. Jika darah keluar lebih dari 15 hari maka itu termasuk darah penyakit. Umumnya darah yang hilang akibat menstruasi adalah 10mL hingga 80mL per hari tetapi biasanya dengan rata-rata 35mL per harinya.

'Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid' begitulah bunyi ayat (1) pasal 81 undang-undang ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003. Dari penjelasan tersebut seharusnya memang sudah bisa disimpulkan bahwa haid/menstruasi bukanlah penyakit dan apabila pekerja perempuan mengalami haid maka berhak atas cuti haid. Lalu apa masalahnya?

Bicara tentang cuti haid bisa dibilang 'gampang-gampang susah' alias mudah dalam sosialisasi namun sulit untuk terealisasi. Mengapa demikian? Sosialisasi terkait cuti haid sudah cukup banyak dilakukan, baik melalui media cetak, digital, medsos maupun tatap muka (konsolidasi/penyuluh kesehatan). Namun pada prakteknya masih banyak pekerja perempuan yang 'dipaksa' untuk tidak menggunakan hak cuti haidnya. Kasus-kasus tersebut banyak terjadi di pabrik-pabrik tekstil, garmen, perkantoran, bahkan instansi pemerintah.

Umumnya hal-hal yang menyebabkan pekerja tidak mengambail cuti haidnya adalah karena diharuskannnya menunjukan Surat Keterangan Dokter (SKD) jika cuti haid. Selain itu ada juga intimidasi atasan dengan dalih target produksi yg tinggi. Tawarannya adalah upah lembur yang dibayar tunai bagi pekerja yang haid agar mereka tetap bekerja. Bahkan ada juga perasaan tidak enak hati terhadap rekan kerja jika mengambil cuti haid dan melimpahkan pekerjaan yang ditinggalkan ke rekan kerjanya.

Oleh karenanya, sosialisasi dan pendidikan terkait hak cuti haid tetap harus dilakukan. Manajemen-manajemen dan 'leader-leader nakal' harus diberi sanksi atas upaya penekanan cuti haid. Pengurus serikat pekerja juga diharapkan agar bisa melakukan pendampingan terhadap pekerja yang mengalami intimidasi atas cuti haidnya. Karena jika dibiarkan, kekuatan serikat pekerja itu akan terdegradasi, dukungan dari anggota akan melemah, dan lagi-lagi perjuangan atas cuti haid mengalami kemunduran untuk kesekian kalinya.

 

*Penulis adalah anggota SBA SERBUK PT DNI