Waspadai Recana revisi UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh!

UU No.21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh sudah berusia dua dasa warsa. Namun, dalam praktiknya proses pendirian serikat buruh mengalami kesulitan. Menurut Wakil Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Dedi Iskandar Batubara, dalam praktiknya UU 21/2000 menimbulkan masalah. 

Guru Besar Hukum Perburuhan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Prof Aloysius Uwiyono mengatakan UU 21/2000 memang cara pandangannya lebih pada konflik, bukan kemitraan. Karenanya, UU Serikat Pekerja berpotensi besar mengadu domba antara buruh dan pengusaha. Dalam paparannya, Prof Aloysius Uwiyono mengatakan Relasi yang harus dikembangkan antara kelas pekerja dengan pengusaha harus berdasarkan prinsip demokratis, kemitraan, dan keterbukaan. Tujuannya, agar dapat tercipta hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan antara pengusaha, buruh, dan organisasi buruh. 

Peneliti Klaster Sumber Daya Manusia (SDM) dan Ketenagakerjaan Pusat Riset Kependudukan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Nawawi: Ada 3 alasan untuk merevisi UU 21/2000, meliputi historis, substanstif, dan kontemporer.

a). Historis: UU 21/2000 disusun tergesa-gesa dan dipengaruhi campur tangan Bank Dunia (World Bank), International Monetary Fund (IMF), International Labour Organization (ILO); 

b). Substantif: UU 21/2000 terlalu lentur, pendirian SP/SB terlalu mudah; 

c). Kontemporer: UU 21/2000 memerlukan harmonisasi dengan beragam peraturan perundang-undangan yang lebih baru. Tentu saja termasuk UUCK kan?

Komite III DPD Misharti (Senator dari Provinsi Riau) mengatakan Rumusan dalam Pasal 5 - 10 UU 21/2000 dianggap terlampau mudah mendirikan serikat buruh. Kendati serikat buruh amat penting sebagai wadah dan media advokasi bagi para buruh. Namun perlu aturan yang ketat dalam pendirian serikat buruh. (baca: pendirian dipersulit?)

Sikap SERBUK Indonesia mengenai Revisi UU 21/2000 ini hanya punya 2 tujuan utama, yaitu:

1. Mempersulit pembentukan serikat pekerja/serikat buruh;

2. Mendorong hubungan industrial yang HARMonis, seperti yang pernah dipraktikan Orde baru dalam Hubungan Industrial Pancasila.