Pancasila, Buruh, dan Trauma

  

Oleh: Khamid Istakhori*

1 Juni 2022, Selamat Hari Lahir Pancasila! Tahun ini, puncak peringatan Hari Lahir Pancasila akan dilaksanakan di Kota Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) lantaran kota ini disebutkan menjadi saksi bisu cerita pengasingan Presiden Soekarno dan menjadi tempat perenungan hingga lahirnya Pancasila. Hari Lahir Pancasila, ditetapkan peringatannya melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 4 Tahun 2016.

Pancasila, selalu diliputi riak-riak dalam pergulatan sejarahnya. Bagi umat Islam, pertarungannya ada pada sila pertama yang menyatakan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sesudah menuai kontroversi, akhirnya rumusan ini dicabut dan lahirlah rumusan seperti yang kita kenal saat ini.

Bagi buruh, setidaknya selama 32 tahun kekuasaan Rezim militeristik Soeharto, Pancasila menjadi “komoditi” yang diperdagangkan luas. Artinya, kata “Pancasila” digunakan sebagai upaya untuk membungkam kelompok-kelompok yang dinilai berseberangan dengan kekuasaan Soeharto, yang sejak awal berdirinya sangat pro investasi.

Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan Hubungan Industrial Pancasila sebagai hubungan industrial yang didasarkan atas nilai nilai yang merupakan manifestasi dari keseluruhan sila sila Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, dan yang tumbuh serta berkembang di atas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia. Watak hubungan industrial Pancasila tersebut digambarkan sebagai hubungan yang “harmonis” atas dasar “kemitraan yang sejajar” dan terpadu di antara para pelaku dalam proses produksi barang atau jasa yang didasarkan atas nilai nilai yang terkandung dalam sila sila Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Kata Hubungan Industrial Pancasila disebut sebanyak 30 kali dalam UU tersebut! Sesudah menuai protes yang luas dari kalangan buruh, UU 25/1997 mengalami penundaan sebanyak dua kali dan akhirnya, melalui Perpu No. 3 Tahun 2000 Pemerintah membatalkan berlakunya UU Ketenagakerjaan 1997 (Hukumonline, 02/09/2002).

Pancasila hanya dijadikan slogan dan tameng bagi Soeharto untuk “menggebuk” lawan politiknya, termasuk serikat buruh yang melakukan perlawanan atas situasi perburuhan yang tidak pro buruh. Mengutip Tirto.id (https://tirto.id/ePJi), ada Kasus Marsinah yang meninggalkan jejak kelam sepatu tentara di sana. Jejak itu, memberikan gambaran bagaimana Rezim militer Soeharto memandang aksi-aksi protes kaum buruh sebagai ancaman serius. Selain Marsinah, kita juga melihat pelarangan peringatan Hari Buruh Sedunia setiap tanggal 1 Mei, dan mencoba menghapus istilah "buruh" dengan "pekerja/karyawan". Robert Edward Elson dalam The Idea of Indonesia (2009:370) seperti dikutip dari Kompas (02/05/1966), pada tanggal 1 Mei 1966, Letnan Jenderal Soeharto mengeluarkan pernyataan kerasnya, “Rakyat Indonesia tidak tahu mengenai kelas, dan perjuangan kelompok pekerja bukanlah perjuangan kelas.”

Membandingkan konsep hubungan industrial Pancasila yang dimuat dalam UU 25/1997 (yang dibatalkan!) tersebut dengan perlakuan represif Soeharto terhadap gerakan buruh di Indonesia, kita bisa memindai kenyataan bahwa pada hakikatnya, hubungan industrial Pancasila model Soeharto tidak menyentuh substansi permasalahan yang sebenarnya dan hanya menjadi alat represi untuk menghajar gerakan buruh yang radikal. Siapa berlawanan pendapat dengan rezim, capnya jelas: tidak Pancasilais. Tidak Pancasilais kongruen dengan komunis. Untuk meneguhkan pemberangusan terhadap gerakan buruh yang radikal dan berlabel ”kiri”, orde baru hanya mengakui serikat tunggal bernama Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang Ketua Umum pertamanya adalah Agus Sudono, dari militer.

Reformasi 1998 secara perlahan memberikan angin segar bagi gerakan buruh di Indonesia. Lahirnya Undang-Undang 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh memberikan kesempatan yang luas kepada buruh untuk membentuk serikat buruh, melunturkan dominasi serikat tunggal; SPSI. Tetapi, dalam kenyataannya, UU 21/2000 yang memberikan “kebebasan berserikat”, tak ubahnya pisau bermata dua. Lokataru Foundation, dalam Laporan Penelitian Penjinakan Serikat Pekerja (2019:3) menyebutkan bahwa UU 21/2000 pada satu sisi membuka kran bagi buruh untuk membentuk serikat buruh, tapi pada sisi lain justru menyebabkan fragmentasi gerakan serikat buruh. Alih-alih memperkuat serikat, kemudahan dalam pembentukannya, justru melahirkan fragmentasi bagi justru berpotensi menghasilkan fragmentasi gerakan serikat buruh.

Revisi UU 21/2000 dan Kembalinya Konsep Kemitraan

UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh sudah berusia dua dasa warsa, namun, dalam praktiknya proses pendirian serikat buruh mengalami kesulitan. Menurut Wakil Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Dedi Iskandar Batubara, dalam praktiknya UU 21/ menimbulkan masalah (Hukumonline, 20/01/2022). Senada dengan Iskandar, Guru Besar Hukum Perburuhan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Prof Aloysius Uwiyono mengatakan UU 21/2000 memang cara pandangannya lebih pada konflik, bukan kemitraan. Karenanya, UU Serikat Pekerja berpotensi besar mengadu domba antara buruh dan pengusaha. Lebih lanjut, Aloysius Uwiyono menyebutkan bahwa relasi yang harus dikembangkan antara kelas pekerja dengan pengusaha harus berdasarkan prinsip demokratis, kemitraan, dan keterbukaan. Tujuannya, agar dapat tercipta hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan antara pengusaha, buruh, dan organisasi buruh.

Pernyataan Uwiyono diamini oleh Peneliti Klaster Sumber Daya Manusia (SDM) dan Ketenagakerjaan Pusat Riset Kependudukan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Nawawi yang menyatakan bahwa UU 21/2000 harus direvisi dengan tiga alasan penting, yaitu: a) Historis: UU 21/2000 disusun tergesa-gesa dan dipengaruhi campur tangan Bank Dunia (World Bank), International Monetary Fund (IMF), International Labour Organization (ILO).; b) Substantif: UU 21/2000 terlalu lentur, pendirian SP/SB terlalu mudah.; c) Kontemporer: UU 21/2000 memerlukan harmonisasi dengan beragam peraturan perundang-undangan yang lebih baru. Tentu saja, UU yang lebih baru akan selalu mengacu pada Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang justru sngat melemahkan buruh dan mereduksi peran serikat buruh. Ironis!

Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) Indonesia, melalui rilisnya pada 31 Mei 2022 menyebutkan bahwa revisi UU 21/2000 dan pendapat berbagai ahli yang mendukung, memiliki dua agenda besar, yaitu mempersulit pembentukan dan gerak serikat buruh dan mendorong kembali konsep hubungan industrial Pancasila yang harmonis bernuansa kemitraan seperti yang pernah dipraktikan orde baru dalam Hubungan Industrial Pancasila. Dalam pandangan SERBUK Indonesia, berbagai protes yang dilakukan serikat buruh (sepanjang pemerintahannya), menjadi ancaman serius bagi cita-cita Presiden Joko Widodo untuk mengarusutamakan investasi pada masa kekuasaannya. Presiden Joko Widodo menargetkan investasi sebesar Rp 1.800 sampai Rp 1.900 triliun pada 2023. Angka ini naik dibandingkan target tahun 2022 yang sebesar Rp 1.200 triliun. Berbagai kebijakan sepanjang Pemerintahannya dan terutama saat pandemi Covid-19, menegaskan hal tersebut (Tempo, 16/02/2022).

SERBUK menyebutkan bahwa konsep kemitraan adalah kata lain dari agenda penundukan struktural serikat buruh. Mengutip materi dalam Modul Pendidikan Perjanjian Kerja Bersama yang dimiliki oleh SPSI (Sulistiyono, 29 Maret 2020) disebutkan bahwa kemitraan antara buruh dan majikan, mengandung 4 konsep besar, yaitu: pekerja dengan pengusaha sebagai mitra, mitra dalam produksi, mitra dalam bertanggungjawab, dan mitra dalam menikmati hasil. Pertanyaan kritisnya, bagaimana mungkin buruh dan majikan berkedudukan secara setara untuk bermitra, ketika posisi buruh dan serikat buruh terus dilemahkan? Lebih dari seabad lampau, Karl Marx telah mengingatkan bahwa relasi buruh dan majikan adalah kontradiksi dan buruh berada dalam posisi yang tidak setara. Ketidaksetaraan tersebut disebabkan posisi majikan yang menguasai alat produksi sangat dominan sehingga bisa memaksa buruh untuk  tunduk.

Sembari merenungkan kembali kehidupan buruh yang semakin terpinggirkan dan terjauhkan dari semangat sila kelima “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, kita semestinya menaruh perhatian serius atas rencana revisi UU 21/2000 dan trauma lama.

Selamat Ulang Tahun, Pancasila!

 

Jakarta, 1 Juni 2022.

*Penulis adalah anggota Federasi SERBUK Indonesia