Rilis Media: Keputusan Holding Sub Holding PLN Harus Melibatkan Publik

Rencana pemerintah akan mengumumkan holding dan sub holding Perusahaan Listrik Negara (PLN) patut dicermati oleh publik, mengingat kebijakan ini sangat menentukan masa depan ketenagalistrikan nasional. Untuk itu Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) menyelenggarakan  Fokus Group Discussion (FGD) untuk merespon rencana pemerintah yang akan mengumumkan keputusan holding dan sub holding Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada tanggal 1 September 2022 besok.

Hadir dalam acara FGD ini diantaranya Salamuddin Daeng pengamat ekonomi Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Agus Wibawa Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) Pembangkitan Jawa Bali (PJB), Ide Bagus Hapsara Sekjen SP PJB, Dwi Hantoro Ketua Umum Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP), Andy Wijaya Sekjen PPIP, Abdul Hakim & Sofyan dari Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas). 

FGD ini membahas tentang bagaimana kondisi ketenagalistrikan Indonesia saat ini dan bagaimana dampak holding dan sub holding  terhadap masa depan ketenagalistrikan Indonesia. 

Dwi Hantoro Ketua Umum PPIP menyatakan bahwa perluasan sub holding yang akan dilakukan harus lah sudah melalui kajian yang mendalam baik dari aspek legal, financial dan pegawai. Karena kondisi saat ini PLN sebagai operator masih terbebani dengan kewajiban Take Or Pay dan kesulitan menyerap dari Over Supply sistem, yang mana pada akhirnya akan berpotensi membebani APBN.

Gekanas yang merupakan aliansi dari berbagai organisasi yang sebelumnya andil dalam menggugat UU Ombibuslaw, meminta agar pemerintah tetap memperhatikan azas dari penyelenggaraan ketenagalistrikan Indonesia yakni UUD 1945 pasal 33 ayat 2 yakni listrik sebagai cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak sehingga harus dikuasai negara. 

Abdul Hakim Gekanas menyatakan terkait dengan hal tersebut, Gekanas sebagai bagian dari masyarakat, sangat menyayangkan apabila asset-asset negara hilang dari penguasaan negara. Sehingga yang akan terdampak adalah rakyat. Mengingat sub holding  tersebut sangat erat  kaitannya dengan pemberlakuan dan pengenaan harga listrik di masyarakat, yang apabila di terapkan holding dan sub holding di PLN sebagai salah satu BUMN Strategis untuk melayani masyarakat.

Sebagaimana diketahui bahwa salah satu alasan Holding Sub Holding PLN dalam RAPBN 2023 adalah sebagai kebijakan perbaikan portofolio dan penguatan struktur keuangan BUMN melalui pembentukan holding strategis, restrukturisasi BUMN, maupun pengurangan proporsi utang terhadap struktur pendanaan (deleveraging).

Salamuddin Daeng menyatakan bahwa perlu dicermati bahwa urusan PLN bukan hanya sehat atau tidaknya keuangan perusahaan tersebut, namun berkaitan dengan hajat hidup orang banyak yang merupakan tanggung jawab negara yang dilaksanakan oleh PLN. Sehingga kebijakan holding dan sub holding PLN haruslah dibicarakan secara lintas sectoral dengan melibatkan semua pemangku kepentingan dan public secara luas. Hal ini dikarenakan masih banyaknya problem ketenagalistrikan yang dihadapi masyarakat Indonesia yang harus diselesaikan oleh pemerintah bersama PLN selaku operator listrik. 

Kebijakan sub holding yang terburu buru, kejar tayang, dipaksakan dan bahkan tanpa landasan regulasi akan membahayakan masa depan ketenagalistrikan di Indonesia.

Selain alasan yang bersifat strategis di atas, terdapat berbagai alasan yang lebih spesifik mengapa program holding dan sub holding perlu meminta pandangan publik, serikat pekerja, akademisi, pelaku usaha dan stakeholder lainnya, karena beberapa hal  :

1. Kondisi geopolitik global yang penuh dengan ketidakpastian yang membahayakan kelangsungan PLN dalam menjalankan tugas negara. 

2. Meningkatnya resiko yang dihadapi PLN yang dapat mempengaruhi kemampuan PT PLN (Persero) dalam memenuhi kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu.

3. Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap penjaminan pemerintah dalam memastikan kemapuan beli listrik PLN. 

4. Banyaknya pembangkit yang direncanakan pemerintah belum beroperasi sesuai jadwal.
 
5. Masih tingginya resiko keuangan akibat kewajiban yang dimandatkan oleh regulasi. 

6. Masih beratnya tugas transisi energi yang diemban oleh PLN sebagai bagian dalam mendukug Indonesia G20 Presidency. 

7. Masih banyaknya pinjaman yang harus disalurkan pemerintah bagi PLN yang harus dilaksanakan secara berkelanjutan dan terintegrasi. 

8. Masih banyaknya penjaminan negara atas proyek PLN.

9. Masih banyaknya penjaminan pemerintah yang akan diberikan untuk kesuksesan proyek 35 ribu MW. 

10. Banyaknya penjaminan yang telah diberikan sehingga harus ada kepastian mengenai status asset pemerintah.

11. Masih banyaknya proyek yang gagal dengan status terminasi dan gagal tender yang harus diselesaikan pemerintah dan PLN.

12. Masih banyaknya proyek pinjaman luar negeri yang harus diselesaikan oleh pemerintah dan PLN. 

13. Adanya kebutuhan terkait penjaminan yang medesak dan menjadi prioritas pemerintah seperti untuk Proyek LRT Jabodebek, dll.

14. Masih tinginya Pinjaman Luar Negeri (PLN) merupakan instrumen utang yang lebih dulu dimanfaatkan Pemerintah untuk membiayai defisit APBN. 

15. Aliran uang PLN yang masih negative akibat bunga utang PLN yang cukup besar. 

16. Masih beratnya beban take or pay (TOP) atau kewajiban membeli listrik swasta, sehingga butuh banyak penjaminan regulasi. 

Sebaiknya pemerintah dalam hal ini menteri BUMN sebelum melakukan holding dan sub holding PLN dapat  mendiskusikan lebih matang terkait hal hal di atas secara luas, sehingga kebijakan pemerintah nantinya sejalan dengan yang diamanatkan UUD 1945 dan pasal 33 dalam menyelamatkan hajat hidup orang rakyat dan bangsa Indonesia.