Pekerja Muda yang Terlepas dari Kekangan Gagasan

Oleh: Dimas Nugroho*

Tapi, yang menjadi masalah adalah bagaimana representasi pemerintah tetap menggunakan gagasan lampau nan usang yang sudah dipertentangkan sejak zaman orde baru. Gagasan-gagasan seperti keharmonisan pekerja dengan penguasa, hubungan kekeluargaan, hingga pengabdian diri pekerja yang berujung pada penyerahan diri atas nasib di dunia.

Kamis (17/11) adalah momen penting bagi para pekerja muda yang tergabung di 3 Federasi Serikat Pekerja/Buruh, SERBUK, HUKATAN, dan FKUI. Berada dalam satu afiliasi yang sama, Building and Wood Workers International (BWI), memungkinkan ketiga Federasi Serikat Pekerja/Buruh tersebut membentuk agenda pelatihan dalam satu forum bersama.

24 peserta dengan latar belakang berbeda ditambah dengan para pembicara handal berkumpul menjalani kegiatan pelatihan selama tiga hari. Beragam pembahasan seputar kerja dan pekerja muda, baik itu tantangan maupun potensi datang silih berganti. Tapi, ada satu hal penting untuk diberikan catatan kritis. Tidak lain dan tidak bukan adalah gagasan materi yang dibawa oleh Kementerian Ketenagakerjaan terkait Potensi dan Permasalahan Pekerja Muda.

Sejatinya tidak ada yang salah dengan pemberian materi yang dilakukan oleh representasi pemerintah dalam suatu kegiatan, bahkan di kegiatan yang diadakan oleh pihak yang seringkali mengkritik pemerintah itu sendiri. Tapi, yang menjadi masalah adalah bagaimana representasi pemerintah tetap menggunakan gagasan lampau nan usang yang sudah dipertentangkan sejak zaman orde baru. Gagasan-gagasan seperti keharmonisan pekerja dengan penguasa, hubungan kekeluargaan, hingga pengabdian diri pekerja yang berujung pada penyerahan diri atas nasib di dunia.

Bagi saya sendiri yang telah menempuh perjalanan lumayan panjang, 17 jam dengan duduk di bangku kereta lalu dipertemukan dengan kata-kata keharmonisan, kekeluargaan, hingga pengabdian diri membuat saya memikirkan kembali apakah setimpal apa yang saya lalui hanya untuk mendengarkan kata-kata indah ini? Nampaknya, narasi dan gagasan usang tersebut akan lebih cocok ditempatkan di sisi ujung ruangan, karena di tempat perjuangan ini, narasi tersebut sonder diterima.

Gagasan yang Mengekang Pekerja Muda

Proyeksi bonus demografi di Indonesia setidaknya menyentuh hingga titik 64% dari total penduduk produktif pada tahun 2030. Kondisi demikian memperlihatkan bahwa pengaruh pekerja muda sangat menentukan bagaimana arah negara ini ke depan. Tidak terkecuali dengan arah gerakan dari pekerja-pekerja muda yang telah bergabung dalam serikat -atau setidaknya yang telah tersadarkan atas hak-hak dan potensi mereka dalam menentukan kehidupan mereka. Namun apa daya, semangat tersebut tidak dibarengi -atau berpotensi besar dikhianati oleh pemerintah- dengan masih digunakannya dasar-dasar gagasan lampau nan usang yang tidak relevan bahkan memojokkan kekuatan pekerja.

Tulisan pemerintah melalui humas mereka banyak sekali mengatakan perlunya pemerintah menyiapkan fasilitas kebijakan yang mampu mendukung pengembangan generasi muda. Tapi di sisi lain, pemerintah justru melanggengkan persoalan-persoalan dasar dari permasalahan kelas. Seperti dilanggengkannya gagasan keharmonisan pekerja dan penguasa. Bagaimana bisa hubungan antara dua belah pihak yang memang berlawanan dapat disatukan dengan keharmonisan? Yang ada hanya sebuah legitimasi dari sebuah penindasan dan eksploitasi ketika waktu-waktu tidak mengenakkan muncul.

Belum lagi dengan gagasan kekeluargaan yang tidak jauh berbeda dengan keharmonisan. Bahkan dalam bentuk lebih luasnya dapat memposisikan pekerja di posisi tunduk secara absolut kepada negara/penguasa atau bahkan pemodal, karena sifat ketaataan layaknya hubungan keluarga, terkhusus bapak dan anak. Seperti apa yang terjadi pada pemerintahan Orde Baru yang memposisikan pemimpin sebagai seorang bapak yang harus ditataati oleh semua anaknya.

Lalu gagasan pengabdian diri. Gagasan yang layaknya dua sisi mata pisau, yang dapat membuat pekerja berserah pada nasib atau mungkin justru dapat menyerukan perlawanan terhadap penindasan. Tapi entah, bagian mana yang pemerintah maksud dalam hal ini.

Jika gagasan dasar yang digunakan saja sudah memojokkan perjuangan buruh/pekerja, lantas bagaimana kita bisa berharap? Seperti kata Pram, seharusnya kita sudah adil sejak dalam pikiran, bukannya memilih netral.

*Penulis adalah Organiser SERBUK untuk penyiapan Komite Wilayah SERBUK Jawa Timur