Worker Fest IV: Kerja Layak Semakin Mendesak!

“Kalian adalah calon-calon buruh,” terang Ali Prasetyo selaku Sekretaris Regional FSPM DIY di hadapan hadirin peserta diskusi publik dan dialog sosial. Ali memberikan pengantar penting mengenai kondisi dunia kerja hari ini dan pentingnya serikat pekerja dalam acara Worker Fest IV bertajuk ‘Kerja Layak sebagai Pemenuhan Kesejahteraan dan Hak’. Baginya, mahasiswa dan kaum muda perlu lebih akrab dengan isu-isu perburuhan sejak dini. Hal ini sebagai bentuk antisipasi dan pembelajaran sebelum mengalami dinamika yang sering terjadi di dunia perburuhan.

Selasa (20/12), bertempat di Teatrikal Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Worker Fest IV diselenggarakan oleh mahasiswa Praktik Pekerjaan Sosial (PPS) Prodi Ilmu Kesejahteraan Sosial UIN Sunan Kalijaga bersama dengan Federasi SERBUK Indonesia komite Wilayah Jawa Tengah-DIY. Kegiatan ini juga turut menghadirkan Tiga pembicara dari latar belakang yang beragam. Mereka adalah Hepy Nur Widiamoko (Federasi SERBUK), Ro’fah Makin (Dosen UIN Sunan Kalijaga), dan Amin Subargus (Disnakertrans DIY).

Acara dibuka oleh sambutan dari mahasiswa kordinator PPS, Pendamping dari SERBUK, dan Siti Solechah, Kepala Prodi IKS UIN Sunan Kalijaga. "Ini sudah acara yang Keempat. Saya ingat beberapa kali sebelumnya ada yang online juga. Harapannya, ke depan acaranya bisa semakin meriah dan melibatkan semakin banyak orang yang bisa berpartisipasi," ujar Kaprodi.    

Memasuki acara inti, Hepy, sebagai pembicara pertama membuka diskusi dengan sebuah refleksi bahwa tren tentang kampanye kerja layak sudah dilakukan sejak lama, tapi pada praktiknya yang terjadi justru sebaliknya. Tren yang terjadi adalah semakin banyaknya  buruh kontrak dengan kondisi kerja yang cukup memprihatinkan. Di samping itu, sektor informal juga dijelaskannya sebagai sektor yang paling rentan akan kerja layak di Indonesia. Misalnya yang terjadi pada teman-teman buruh konstruksi. Seringkali mereka mendapatkan perlindungan yang tidak memadai. Sebutlah tidak ada APD dan transaksi upah masih dalam bentuknya yang tradisional sehingga tidak memiliki mekanisme yang jelas.

Masih menurut Hepy, “Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa kerja layak adalah kondisi yang ‘mahal’ di Indonesia. Ia hanya menjadi sebatas narasi-narasi pemanis tanpa benar-benar diimplementasikan. Temuan ITUC Global Rights Index pada 2017 juga menguatkan hal ini, Indonesia mendapatkan nilai indeks paling buruk terkait jaminan bagi hak buruh.”

Merespon hal tersebut, Ro’fah menyampaikan, “Di negara-negara maju, misalnya Jerman, buruh konstruksi sangat diperhatikan secara serius, terutama dalam hal K3-nya. Memang tidak bisa dipungkiri, konteks Indonesia memiliki kekhasannya tersendiri, yaitu sangat dinamisnya lapangan kerja dan tidak terdatanya secara lengkap kelompok buruh di sektor informal. Hal inilah yang kemudian menyulitkan intervensi pemerintah. Namun, ini justru bisa menjadi peluang dan potensi yang bisa dilakukan oleh peran Pekerja Sosial. Setidaknya mereka bisa menawarkan praktek pembentukan dan pendampingan serikat buruh, jasa penyusunan skema pensiun, serta edukasi ke masyarakat.”

Lebih lanjut, ia menyampaikan pandangan alternatifnya, “Khusus terkait penyusunan skema pensiun, Pekerja Sosial bisa memperhatikan pentingnya pembuatan jaminan sosial sementara bagi buruh informal melalui lembaga privat. Solusi ini menjadi penting sebagai jaring pengaman ketika kebijakan dari pemerintah tak kunjung hadir juga.”

Dari kiri ke kanan: Khotibul Umam (Supervisor kampus), Siti Solecha (Kaprodi IKS), Amin Subargus (Disnakertrans DIY), Hepi NW (SERBUK), Ro'fah Makin (Dosen IKS), M Husain (Pendamping dari SERBUK)

“Memang kelayakan tidak hanya saat kerja, melainkan juga sampai pensiun. Bagaimana ketika pensiun para buruh juga memiliki quality of life, yaitu dengan: tidak menderita penyakit dan cacat; tidak terjadi premature death; usia harapan hidup dan kapasitas kerja tinggi; serta mampu menikmati masa pensiun setidaknya 10 tahun setelah purna,” jelas Amin ikut memberikan pandangannya. Selain itu, Amin juga mengulas topik-topik komponen kerja layak lain seperti upah pokok, K3, serta cuti haid dan melahirkan bagi perempuan.  

Diskusi publk dan dialog sosial yang digelar dalam Worker Fest IV ini juga menghadirkan pandangan dan temuan mahasiswa PPS selama berpraktik. Sebagai bagian dari praktik intervensi makro, mereka mengatakan bahwa kondisi yang nyata terjadi di dunia ketenagakerjaan mengenai keadaan yang masih jauh dari kata layak ini penting untuk disampaikan ke publik agar bisa lebih memahami situasinya. “Kita harus membuat isu buruh ini menjadi populer dan terus mengupayakan solusi terbaik bersama-sama,” ujar salah seorang praktikan.

 

Reporter: Dani Mustofa