Pemidanaan sebagai Terobosan Hukum atas Penolakan Pengusaha untuk Pembayaran Uang Pesangon Buruh

Sumber gambar: hukumonline.com

Beberapa serikat pekerja/federasi serikat pekerja yang tergabung dalam Global Union Soldiarity, menyelenggarakan diskusi online melalui platform zoom pada 29 Desember 2022 dengan topik pemidaan terkait uang pesangon yang semestinya diterima oleh buruh terPHK. Diskusi ini mengambil studi kasus dari Laporan Polisi melalui Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polda Jawa Tengah dengan Laporan Polisi Nomor: LP/B/704/XII/2022/SPKT/POLDA JAWA TENGAH. Laporan polisi dilakukan oleh delapan pekerja yang melaporkan pengusaha PT Sarana Pariwara karena tidak bersedia membayar pesangon sesuai Putusan Pengadilan Hubungan Industri (PHI) Semarang.

Nasrul Dongoran, Managing Partner NET Attorney Law Firm selaku kuasa hukum delapan pekerja menjelaskan bahwa  pekerja telah melaporkan Pengusaha selaku Pemilik PT Sarana Pariwara ke Kepolisian Daerah Jawa Tengah atas dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja pada Bab IV Ketenagakerjaan pada Pasal 185 ayat (1) jo Pasal 156 ayat (1) mengenai tidak membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima berdasarkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Semarang. “Delapan pekerja telah mendapatkan putusan PHI Semarang dan telah dilakukan berbagai upaya untuk mengajak pengusaha berunding terkait pembayaran pesangon, tapi tawaran tersebut diabaikan,” ujar Nasrul. 

Nelson Saragih dari Federasi Serikat Pekerja Pulp dan Kertas Indonesia (FSP2KI), sebagai salah satu narasumber dalam diskusi menjelaskan bahwa sebenarnya putusan yang sudah berkekuatan tetap harus dilaksanakan dengan sukarela, namun tidak serta merta pengusaha mau menjalankannya karena pada realitanya masih banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha, salah satunya tidak mau membayar pesangon. “Jadi, langkah pidana merupakan langkah terakhir atau ultimum remedium,” jelas Nelson.

Senada dengan Nelson, Fribetson Samosir, Pengacara Publik LBH Palembang menjelaskan bahwa ultimum remedium menjadi pilihan terakhir karena sudah melakukan beberapa tahapan, antara lain: perundingan bipartite, perundingan tripartite, putusan PHI, musyawarah dengan perusahaan dan mengirimkan somasi sebanyak tiga kali kepada pengusaha. “Ketika segala upaya baik dan persuasive sudah dijalankan, tapi pengusaha abai, pilihannya tentu saja pemidanaan,” tegas Fribertson. LBH Palembang juga sedang mengadvokasi kasus yang sama yakni kasus yang dialami oleh pekerja PT Sarana Riau Makmur Muara Enim, Sumatera Selatan. Fribertson menjelaskan bahwa awal Januari 2023, pihaknya akan mengirimkan ajakan berunding kepada pengusaha untuk membayarkan pesangon.

Langkah pelaporan kepada kepolisian, merupakan salah satu cara yang diambil oleh buruh atau serikat buruh sebagai strategi advokasi. Namun demikian, dalam pandangan Nelson Saragih sebenarnya ada banyak pilihan yang bisa diambil untuk mengadvokasi kasus ini. Nelson menyebutkan bahwa syarat pertama advokasi memang harus melalui putusan PHI. “PHI merupakan jalan masuk untuk melakukan advokasi lanjutan dan ini harus ditempuh,” ujar Nelson. 

Menjelaskan permasalahan tersebut, Nelson menyebutkan bahwa ketika putusan PHI sudah berkekuatan hukum tetap, Langkah yang bisa ditempuh adalah melalui permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan negeri setempat. Namun, jika permohonan eksekusi sudah dilakukan dan pengusaha masih tetap tidak  mau membayarkan pesangon, maka pekerja bisa memohonkan sita eksekutorial atas barang-barang milik pengusaha. Permohonan sita eksekutorial itu tetap diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Setelah semua barang-barang disita, kemudian akan dilelang di mana hasilnya akan digunakan untuk membayarkan kewajiban pengusaha kepada pekerja dan juga biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut. Dalam praktiknya, sita eksekutorial atas barang-barang milik pengusaha tidak mudah dan tak jarang menimbulkan masalah baru, misalnya benturan di lapangan ketika eksekusi dijalankan. 

Pilihan lain yang bisa diambil pekerja sesuai dengan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) terkait pesangon termuat dalam Pasal 156 ayat (1). Pasal itu menyatakan bila terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Pasal 185 ayat (1) UUCK menyatakan bahwa bila pengusaha tak menjalankan kewajiban itu, mereka diancam sanksi pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta. Terkait hal ini, Nasrul menjelaskan bahwa saat ini, perkembangan kasus yang didampinginya telah menunjukkan progress yang lebih maju. “Polisi sudah memanggil saksi-saksi dari pihak pekerja sebagai pelapor,” tuturnya. 

Selain permohonan eksekusi jaminan dan pemidanaan, Nelson menyebutkan bahwa sebenarnya masih ada upaya perdata lain yang bisa dijalankan pekerja/serikat pekerja, yakni melalui mekanisme permohonan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Nelson menjelaskan bahwa PKPU bertujuan agar debitur dapat mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kreditur, baik kreditur preferen maupun konkuren. “Pesangon yang tidak dibayarkan adalah utang  karena  dinyatakan dalam jumlah uang,  baik yang timbul karena perjanjian maupun putusan PHI,” jelasnya. 

Menutup sesi diskusi, para pembicara bersepakat bahwa berbagai upaya hukum yang ditempuh oleh pekerja/serikat pekerja selalu mensyaratkan adanya kekuatan kolektif yang dimiliki oleh pekerja dan serikat pekerja. Upaya hukum (litigasi), seringkali memerlukan kombinasi dengan upaya lain berbentuk non-litigasi di luar pengadilan. “Aksi massa, kampanye, mogok, dan tekanan  kepada pemangku kepentingan merupakan jalan serikat pekerja, untuk itu harus dilakukan upaya simultan untuk mengajak pekerja membangun kekuatan kolektifnya," jelas Nelson.  

Menambahkan pendapat Nelson, Nasrul menyebutkan kuasa hukum (pengacara) semestinya mendengar dan menghormati upaya-upaya penguatan serikat pekerja. Menurutnya, pendamping advokasi/kuasa hukum tidak boleh melampaui kekuatan dan harapan serikat pekerja. “Dalam perjuangan serikat pekerja tidak ada strategi yang “copy paste” karena setiap kasus memiliki keunikan dan tantangannya sendiri-sendiri,” tegas Nasrul. Menurutnya, ada konteks penting yang harus diperhatikan dalam advokasi pekerja/serikat pekerja yakni apa yang menjadi harapan terbesar pekerja / serikat pekerja harus menjadi pertimbangan yang paling utama. (Khi)