Oleh:
Asmariyana*
SERBUK Indonesia dan Kanal Muda menyadari bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan hal yang penting bagi rakyat. Oleh karenanya, ruang diskusi dan penyadaran mengenai hal ini harus dibangun dan dibudayakan. Selain itu, solidaritas pada elemen rakyat yang mengalami tindak pidana yang dipaksakan karena kebebasan berpendapat dan berekspresi ini harus disikapi bersama-sama.
Hingga
Sabtu (24/06/23), menjelang siang, sebuah diskusi dan pendidikan mengenai hak
kebebasan berpendapat ini diselenggarakan. Bertempat di Yogyakarta, di kedai
kopi yang sederhana, dengan suara gerobak-gerobak
penjual yang lewat dan suara orang-orang yang lalu lalang bisa didengar
dari dalam, sekitar 34 peserta yang merupakan mahasiswa, kaum muda, dan pekerja
mengikuti diskusi dengan antusias. Hadir
sebagai narasumber adalah
Haris Azhar (Aktivis HAM) dan Britha Mahanani (Departemen Advokasi Federasi SERBUK)
dalam diskusi yang dimoderatori
oleh Ririn Maharani (Sekretaris Kanal Muda).
Dengan
tag line ‘Jangan diam, Lawan! Pekerja dan Kaum Muda Berlawan
Bersama Haris dan Fatia’. Pembahasannya tentu tak jauh-jauh dari kasus
yang sedang dialami Haris-Fatia,
Undang-undang ITE, kebebasan berpendapat, rekayasa kasus yang acap kali
dilakukan orang-orang yang punya kuasa, bagaima hukum di negara ini tidak
berpihak, tindak repreisif dari aparat, konflik lahan, dan lain sebagainya yang
tentunya sangat dekat dengan lika-liku kehidupan kelompok-kelompok rentan.
Haris sedikit-banyak mengulas tentang betapa hukum tidak berpihak
kepada yang lemah dan betapa rentan masyarakat mengalami represif dengan alasan-alasan
yang tidak masuk akal. Sementara Britha berbagi sedikit banyak pengalamannya saat
mendampingi buruh. Bagaimana buruh sangat rentan menghadapi berbagai tindakan
yang merampas keadilan dan hak atas diri mereka.
Tak kalah bersemangat, para audiens yang hadir juga memberi berbagai macam
tanggapan. Misalnya, beberapa berbagi pengalaman mengenai terbatasnya ruang
berekspresi dan menyampaikan pendapat yang tidak sejalan dengan ideologi negara
ini yang katanya ‘Demokrasi’. Tidak sedikit juga yang mempertanyakan
persoalan-persoalan yang dekat dengan kehidupan mereka seperti posisi
masyarakat adat dalam hukum atau apa sesungguhnya peran Corporate Social
Responsibility (CSR) dalam perusahaan yang pada praktiknya sering tidak sejalan
dengan konsep awalnya.
Membicarakan kasus Haris-Fatia, sedikit menarik ke belakang, kasus ini sudah
bergulir sejak 22 September 2021, ketika dua orang ini dilaporkan atas kasus
pencemaran nama baik yang termuat dalam UU ITE, tepatnya pasal 27 ayat 3.
Lawannya tidak main-main: Luhut Binsar Panjaitan.
Opung
Luhut, sebagaimana yang sudah umum diketahui, kini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang
Kemaritiman dan Investasi. Sebelumnya, Luhut pernah berturut-turut menjabat
sebagai Menteri Kemaritiman di tahun 2016 hingga 2019, Menteri Koordinator
Bidang Politik, Hukum dan Keamanan tahun 2015-2016, Kepala Staf Kepresidenan
Indonesia di tahun 2014-2015, dan banyak lagi jabatan-jabatan berpengaruh di
negeri ini. Sehingga dia sering dijuluki Menteri segala bidang.
Di sisi
lain, Haris Azhar adalah seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM)
yang terlibat di Lokataru Foundation
sebagai salah satu pendiri dan Direktur Ekesekutif, sebuah organisasi yang juga
berhubungan dengan HAM. Sebagai pendiri hakasasi.id
yang juga pengajar di Universitas Trisakti, dan pernah menjabat
sebagai Koordinator KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan)
bersama Fatia Maulidiyanti
(Kordinator KontraS sekarang) dilaporkan
Luhut setelah akun YouTube yang dikelola Haris Azhar menghadirkan Fatia dalam
sebuah video yang berjudul ‘Ada Lord Luhut dibalik Relasi ekonomi-Ops Militer
Intan Jaya!! Jenderal BIN juga Ada!’.
Seiring berjalannya kasus ini, Haris dan Fatia kemudian dijerat berbagai
pasal setelah UU ITE pasal 27 ayat 3 menjadi pintu untuk memperkarakan mereka.
Pasal tentang ‘keonaran’ misalnya, yang dimana keonaran yang dimaksud dalam
pasal ini adalah keonaran di jalanan sebagaimana awal mula pasal ini lahir di
era tahun 1950-an.
Dalam diskusi kali ini, Haris menyampaikan bahwa di sidang selanjutnya dua
orang saksi akan dihadirkan. Dua orang saksi ini adalah dua orang yang berkomentar
di video YouTube yang kemudian hari jadi
saksi terhadap perkara ini. Dengan
posisi satu orang pro Haris-Fatia dan satu orang lagi kontra
telah dianggap memenuhi
unsur keonaran di media sosial yang
ditimbulkan video ini. Namun, ada dugaan bahwa dua orang yang akan menjadi
saksi ini juga adalah dua orang yang bekerja atau terlibat di perusahaan yang
dinaungi oleh Luhut. Sehingga ada dugaan rekayasa atas penghadiran kedua saksi
ini.
Pada persidangan sebelumnya (8/06/23) Pengadilan Tinggi
Negeri (PTN), tempat persidangan dilaksanakan
telah ‘disterilkan’
sehingga semua persidangan hari itu harus ditunda karena adanya
persidangan Luhut. Berbagai Tindakan semena-mena dipertontonkan dalam kasus
ini. Sebagai representasi rakyat melawan penguasa.
Menyaksikan kasus Haris-Fatia tanpa bertindak, atau dalam hal ini hanya diam saja,
berarti juga membiarkan penguasa bertindak semena-mena melawan rakyat. Diam
juga berarti kita harus bersiap dengan tindak-tindak represif lain yang bisa
menimpa apa saja dan siapa saja yang menyuarakan hak sebagai manusia dan juga
kebenaran yang dalam hal ini diyakini mutlak.
Dengan terus membicarakan kasus Haris-Fatia berarti kita telah menunjukkan
solidaritas. Bahwa tidak ada yang sendiri dalam berjuang.
Meskipun berbagai bentuk
tindakan represif telah ditujukan kepada kelompok-kelompok rentan untuk
melemahkan mereka, hal itu tidak akan pernah
menghentikan perjuangannya.
Dalam kejahatan yang tersistematis dan struktural, keberanian adalah satu
hal utama yang
wajib kita punya!
Yogyakarta,
Juni 2023
*Penulis
adalah Bendahara di Kanal Muda, sekaligus bagian dari Komite Perempuan
Federasi SERBUK Indonesia
Editor: Mh