Oleh: Nurdiansyah / Departemen Pendidikan Federasi SERBUK
KARAWANG − Sebagaimana diamanatkan oleh
negara dalam undang-undang dasar (UUD) 1945 bahwa negara wajib memberikan
jaminan sosial bagi seluruh warga negara. Jaminan sosial yang dimaksud meliputi
jaminan kesehatan, pendidikan, pekerjaan serta penghidupan yang layak. Maka
pada tahun 2004, di akhir masa pemerintahan presiden Megawati Soekarno Putri,
disahkanlah undang-undang (UU) Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang
kemudian UU tersebut menjadi dasar hukum bagi-bagi UU jaminan sosial serta aturan
turunannya.
Setelah disahkannya UU SJSN, tidak serta
merta rakyat Indonesia merasakan manfaatnya. Berganti presiden, berganti pula
prioritas kebijakannya. Di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), UU SJSN tidak menjadi prioritas sehingga pembahasan terkait aturan
pelaksanannya mengalami beberapa kali penundaan. Secara singkat UU SJSN
mengatur tentang jenis-jenis manfaat yang bisa diterima oleh masyarakat,
sedangkan UU pelaksana yang mengatur teknis SJSN belum dibuat. Tak pelak hal
ini membuat berbagai kalangan masyarakat mulai dari buruh, anggota dewan, aktivis
buruh hingga tokoh masyarakat melakukan aksi demo menuntut agar presiden SBY
membuat UU pelaksana dari UU SJSN. Rangakain aksi demo tersebut akhirnya
membuahkan hasil. Presiden SBY akhirnya membuat RUU Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) yang kemudian pada tahun 2011 RUU BPJS berhasil disahkan menjadi
UU BPJS yang berlaku sampai hari ini.
Bertempat di Sekretariat Federasi Serbuk Indonesia di Karawang-Jawa Barat, atas kerjsama antara Komite Eksekutif (Komex) Federasi Serbuk Indonesia dengan Timboel Siregar selaku Koordinator Advokasi BPJS WATCH, akhirnya bisa menyelenggarakan pendidikan dengan tema "Implementasi dan Respon terkait UU BPJS". Pendidikan yang dihadiri puluhan peserta dari berbagai serikat buruh tingkat pabrik ini berlangsung dengan sangat menarik. Materi-materi yang disampaikan Bung Timboel selaku pemateri memberikan pengetahuan serta pemahaman baru tentang manfaat BPJS itu sendiri. "Sebenarnya bukan hanya pekerja yang mendapatkan manfaat dari kepesertaan BPJS. Di berbagai kasus yang terjadi sepert di Medan, pengusaha pun diuntungkan karena jika saja pengusaha tidak mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS, maka biaya pengobatan atas kecelakaan kerja serta santunannya harus ditanggung oleh pengusaha. Total nilai biaya pengobatan serta santunan kematian bahkan ada yang mencapai ratusan juta rupiah. Karena pekerjanya terdaftar sebagai peserta BPJS, pengusaha bisa menekan biaya tersebut." ujar Bung Timboel menyampaikan salah satu manfaat BPJS bagi pengusaha.
Terkait fasilitas jaminan kesehatan
ternyata masih banyak yang salah paham dan ini pun dijelaskan oleh Bung Timboel
"Pada dasarnya penerima jaminan kesehatan itu membayar iuran. Hanya saja
ada perbedaan antara Penerima Bantuan Iuran (PBI), Pekerja Penerima Upah (PPU)
dan Pekerja Penerima Badan Usaha (PPBU). Perbedaannya adalah kalau iuran PBI
itu dibayar pemerintah lewat APBN/APBD sebesar 42rb/orang sedangkan PPU &
PPBU itu dibayarkan oleh pemberi kerja dan pekerja itu sendiri. Tentunya
fasilitas layanan kesehatannya pun berbeda-beda," terang Bung Timboel
Menanggapi pertanyaan peserta pendidikan
terkait bisa atau tidaknya seorang pekerja yang sudah menikah dan memiliki anak
kemudian ingin mendaftarkan orangtuanya kedalam BPJS PPU miliknya, jawaban Bung
Timboel lagi-lagi cukup mengejutkan. "Sejak UU BPJS diberlakukan setiap
pekerja penerima upah bisa dan berhak mendaftarkan keluarganya ke dalam BPJS
miliknya dan mendapatkan manfaat faisilitas yang sama dengan pekerja itu
sendiri. Hanya saja akan ada tambahan potongan iuran sebesar 1% per-orang
tambahan dan pengusaha tidak membayar lebih alias tetap membayar 4% dari upah
berapapun orang yang terdaftar di BPJS pekerja. Syaratnya cukup dengan Fotocopy,
Kartu Tanda Penduduk, dan Kartu Keluarga," jawabnya. "Banyak memang perusahaan
yang tidak mensosialisasikan kebijakan ini dan rata-rata mereka tidak ingin
repot mengurus penambahan kepesertaan dari pekerja sehingga pekerja tidak tahu
adanya kebijakan ini dan akhirnya memilih tidak mendaftarkan keluarganya ke
BPJS," lanjutnya.
"Di perusahaan tempat kami bekerja sudah puluhan tahun menggunakan fasilitas asuransi kesehatan dalam menjamin pengobatan pekerja hingga munculnya BPJS kesehatan yang mewajibkan perusahaan pun menggunakan BPJS kesehatan. Sampai sekarang di kami (perusahaan: red) ada 2 fasilitas kesehatan yakni asuransi kesehatan dan BPJS Kesehatan. Tapi masalahnya sekarang pengusaha ingin menghapus asuransi kesehatan dengan alasan sudah ada BPJS Kesehatan. Apa yang bisa kami lakukan agar niat tersebut dibatalkan pengusaha?" tanya Eman selaku departemen pendidikan dari SBA SERBUK PT SICP
"Kawan-kawan harus mendorong adanya
perundingan. Diperiksa terlebih dalam PKB, PP atau PB perusahaan apakah diatur
tentang penghapusan fasilitas kesehatan tersebut? Jika tidak diatur maka
pengusaha pada dasarnya telah melanggar aturan. Jika dalam perundingan tidak
tercapai kesepakatan dan pengusaha tetap pada niatannya tersebut maka saran
saya kawan-kawan bisa menempuh jalur Perselisihan Hubungan Industrial (PHI)
karena suatu kebijakan yg kemudian sudah menjadi kebiasaan bisa menjadi dasar
hukum bagi hakim untuk memutuskan suatu perkara. Hal ini tidak hanya terjadi
pada kawan-kawan SICP melainkan terjadi pula di tempat lain" jawab Bung
Timboel.
Tingginya minat peserta atas materi-materi
yang disampaikan oleh Timboel membuat peserta yang hadir mengaharapkan agar ada
pertemuan atau pendidikan lanjutan dalam waktu dekat mengingat masalah BPJS
merupakan salah satu hal yang sering dialami pekerja.