SUNYI

Digoel adalah kamp pembuangan. Tempat pesakitan ditahan. Tapi, ia berbeda dengan Auschwitz bikinan Nazi. Kamp milik Hitler itu menyediakan fasilitas kamar gas untuk membunuh cepat dan kolosal. Di Digoel, tawanan digiring untuk hidup normal. Semacam upaya normalitas dalam kondisi yang tak normal. 

Hatta dan Sjahrir pernah ke sana, namun tak berlarut-larut. Pemerintah kolonial merasa perlu memperlakukan kaum intelektual jenis ini dengan cara berbeda. Keduanya dikirim ke Banda Neira. Tak berlama-lama di Digoel. Hatta mungkin gembira, pergi dengan enam peti bukunya. Tak perlu terbenam di Tanah Merah. Belantara kasar, tandus, dikepung malaria. 

Di Digoel, otoritas Belanda membuat klasifikasi. Jenis-jenis manusia seturut tabiatnya. Pertama "De werkwillinger". Golongan yang mau bekerja. Patuh dan permisif ke  pengontrol Digoel. Demi menunjukkan kompromi, kadang-kadang mereka mencari muka, seperti membuat lapangan tenis bagi pemuka Belanda, walau akhirnya tak terpakai. 

Dalam golongan ini ada Gondojoewono, keturunan pangeran Jawa yang sempat memimpin serikat buruh pelabuhan. De werkwillinger menjadi yang paling mungkin dibebaskan. 'Carrot and Stick' merupakan metafor tua tentang menciptakan perilaku yang diinginkan. Nurut dapat ganjaran baik, membangkang disongsong pukulan. Maka, De werkwillinger dekat  sekali dengan wortel (carrot). Lamat-lamat yang membaja melembut sutera. 

Golongan kedua, "Onverzoenlijken". Terjemahan harfiahnya "tak terdamaikan". Boleh juga disebut kalangan "tak tersembuhkan", jika Digoel dianggap area penyembuhan. Mereka ini golongan keras kepala, berhati alot, berakhlak galak. Mereka yang kesumatnya kepada penjajahan tak melepuh walau dibuang ke tanah jahanam. 

Kebanyakan dari Onverzoenlijken ditaruh di Tanah Tinggi. Kawasan paling terasing, banyak buaya dan bahaya penduduk lokal yang memusuhi. Di sana, Mangoenatmodjo, karib Haji Misbach dan Tjipto Mangunkusumo, berakhir di perut buaya ketika sedang mandi. Yang lain kerap sakit-sakitan pula.

Golongan Onverzoenlijken rajin bersiasat. Niatnya meloloskan diri. Mereka memang pemberani. Nyaris tak menyisakan takut. Tetapi berani saja tak cukup, ditambah kecerdikan, pun masih juga tak memadai, sebab Digoel terlampau gahar untuk dikalahkan. Upaya pelarian mereka selalu terkoyak. Gagal.

Suatu hari golongan keras kepala menunjukkan pantat serempak ke Gubernur  saat tiba inpeksi ke Digoel.  Mereka menghina pembesar demi menunjukkan kebulatan tekad, bahwa tak ada kata takluk yang mesti diangguki. Mereka ini gandrung menyanyikan tembang "Dua Belas November". Lagunya para pemberontak. 

Orang-orang yang tiba ke Digoel merupakan pejuang anti kolonial. Barisan tak mikir mati. Setidaknya pada mulanya. Tetapi tanah Digoel membentuk ulang karakter orang. Yang melunak atau makin membatu. Selalu ada tempat yang mengubah hidup manusia di muka dunia.

Pejuang kadang diuji bukan tatkala seribu meriam meletus, atau granat datang laksana hujan, melainkan setelah tak ada lagi peluru yang bisa ditembakkan. Dalam kehidupan dimana pertarung diacuhkan, tanpa ajakan berkelahi. Dalam sunyi. Di kesenyapan hebat. 

*

Adityo Fajar