Namanya Robin

Saat muda, Robin lebih sering menghabiskan waktu di teater kampus dibanding ruang kuliah. Pada mulanya dia ingin meniti profesi di bidang politik. Seni peran dan komedi lantas membuatnya berpaling. Dia urung menjadi diplomat. Kecerdasan dan kemahiran berbicaranya tetapi akan tetap berguna di tempat lain.

Lahir di Chicago, Robin membuka karir sebagai komika di klub pinggiran San Franscisco. Sejak awal bakatnya tak bisa dikelabui, dia selalu memenangkan gelak tawa penonton. Komedinya demikian otentik. Menjadikan apa saja sebagai bahan gurauan, dari yang suci hingga yang sehari-hari.

Bertahun kemudian, dia pindah ke Los Angeles. Kota yang riuh, tempat di mana Holywood, -pusat industri film-, bermukim. Di sana Robin menjadi penampil unggulan, lalu talentanya ditemukan produser televisi. Dia melakukan audisi yang disebut-sebut sebagai yang tercermelang dalam sejarah pertelevisian Amerika. 

Tak butuh waktu lama, Robin menjadi bintang besar. Terkenal, dipuji sanjung, uang pun mengalir sangat deras ke dalam sakunya. Jika generasi Paman Sam pada penghujung 1970-an ingin bergembira, mereka harus pergi menyaksikan 'Mork & Mindy'. Serial tv di mana Robin menjadi maskotnya. 

Tetiba saja hidup di jalur cepat kemasyuran. Benar-benar mengagetkan Robin. Pemilik seringai khas itu tak pernah siap menjadi hebat, mendadak dikepung kekaguman, dikejar-kejar hal-hal yang tak seluruhnya benar-benar diinginkan. Robin lantas terjerembab pada pesta, narkoba, dan wanita. Menjadi pecandu. 

Robin menyusuri puncak pencapaian dan kehancuran secara berbarengan. Dia pergi dari satu kekacauan ke kekacauan lain seiring karir yang terus mengkilap, untuk kemudian melahirkan lelucon gelap yang amat terkenal, "Kokain adalah cara Tuhan untuk memberitahumu bahwa kamu menghasilkan uang terlampau banyak." 

Satu lawakan lain yang menggigit milik Robin, "Politisi sangat mirip dengan popok. Mereka harus sering diganti – untuk alasan yang sama.” Politisi harus sering membaca ini. Lebih-lebih saat Pemilu akan tiba. Sebab mereka memang kerap menyerupai popok. Tak usah marah, tertawa sajalah!

Robin Williams dipercaya sebagai salah satu jenius komedi Amerika yang pernah ada. Menghibur jutaan manusia dari zaman ke zaman. Memenangkan Oscar dalam 'Good Will Hunting', film yang saya tonton tiga kali dan memang bagus. Memerankan Mrs. Doubtfire yang murahan tapi laris manis mencetak Box Office. 

Filmnya 'Dead Poets Society' acap kali menjadi rujukan penggiat literasi hingga kini. Dia menjadi presiden Eiesenhower di The Butler. 'Absolutely Anything', komedi tentang pengembaraan alien, menjadi film perpisahannya. Pendek kata, Robin bisa menjadi apa saja di film secara prima, kecuali menjadi bahagia di kehidupan nyata.

Kampiun pertunjukan yang tak terbantahkan, par excellence. Kebanyakan hidupnya dihabiskan dalam perjuangan melawan depresi. Tiba ke tempat rehabilitasi yang satu untuk menginap ke rumah rehabilitasi lain. Seorang lagi badut yang tersenyum di luar, tetapi terluka parah di dalam. 

Pada akhirnya komedian kondang ini menyelesaikan hidupnya, bunuh diri di bulan Agustus. Dalam sunyi, getir, dan gelap. Dia yang hebat berakhir sebagai tragedi, sejarah tak pernah pelit menampilkan sosok semacam itu. "Kematian adalah cara alam untuk mengatakan, 'Mejamu sudah siap!", kelakarnya.

Suatu waktu Robin berujar, "Dulu aku berpikir bahwa hal terburuk dalam hidup adalah berakhir sendirian. Ternyata bukan. Hal terburuk dalam hidup adalah berakhir bersama orang-orang yang membuatmu merasa sendirian." 

Perasaan tersebut yang mungkin membuatnya peka hati kepada kaum gelandangan. Golongan manusia yang paling terbuang, tak ditoleh, terlantar berkelindan kesunyian. Golongan yang juga ditulis Victor Hugo, dalam salah satu novel paling berpengaruh di Abad 19, Les Miserables.

Di setiap film yang diperankannya, Robin meminta produser melibatkan 10 orang gelandangan untuk ikut bermain. Hingga ujung karirnya, Robin membawa 1520 gelandang dalam pementasan layar lebar. Itu bukan angka yang kecil. Kamu mungkin tak pernah mencapainya sepanjang umur. Memberi hidup kepada sejumlah orang. 

Perlakuan Robin Williams kepada gelandangan konon menginspirasi civitas Holywood lainnya. Tom Hardy bilang, menjabat tangan gelandangan serupa menjamah tangan CEO. Setara. Sama-sama manusia. Yang paling mendunia tentu saja Keanu Reeves. Dia sudi menjadi pendengar budiman bagi gelandangan, tabiatnya itu kemudian tersebar luas.

Hati Robin bisa jadi kocar-kacir di sebagian besar umur. Hidupnya rusak. Tetapi itu tak merobohkan sikap terpenting sebagai manusia: peduli kepada sesama. Meminjam kalimat Hamid Basyaib, "Hidup memang mengidap keanehannya sendiri. Mereka yang hatinya paling hancur terkadang merupakan orang-orang yang paling bersemangat membantu orang lain."

*

Adityo Fajar