Boulos, Kemapanan, dan Politik


Namanya Guilherme Boulos. Nama belakang itu diambil dari garis keturunan Lebanon. Di darahnya mengalir dua lanskap kebangsaan, Brazil dan Arab. Ibu dan ayahnya profesor. Tumbuh dari keluarga mapan, mendiami hunian makmur di Penheiros. Pada usia 19 tahun dia memutuskan meninggalkan lingkungan kelas menengah atas tersebut.

Maria Ivete, sang Ibu, menuturkan keputusan putranya. "Untuk memperjuangkan rakyat, dia harus hidup seperti mereka". Putranya lantas hidup bersama tuna wisma, seiring bergabungnya ke Gerakan Pekerja Tunawisma (MTST). Hingga 20 tahun, dia bermukim di hunian yang diperuntukkan tunawisma. Kedua putrinya pun terlahir di sana.

Sebelumnya, di umur 16 tahun, Boulos meninggalkan sekolah privat mahal demi masuk sekolah umum. Lagi-lagi ibunya membelanya di hadapan otoritas pendidik. "Dia punya argumen bagus dan tidak melecehkan", ungkap Maria. "Aku berubah, kalian yang tidak berubah!", sergah si putra pada petinggi sekolah.

Sepakbola yang menjadi 'agama kedua' di Brazil, merupakan wahana kali pertama dia memahami rakyat. Marcos Boulos kerap mengajak putranya ke stadion menonton Corinthians. Ini merupakan klub yang memiliki sejarah kuat anti kediktatoran. "Dia mengatakan bahwa di sana dia belajar memahami bagaimana rakyat bertindak.” 

Guilherme Boulos makin radikal sejak di MTST. Rajin memimpin upaya pengambil alihan properti orang kaya dan korporasi untuk didiami tuna wisma. Di usia ke 30 tahun, namanya menjadi subjek nasional. Berminggu-minggu diberitakan. Seturut upaya konfrontatif MTST melawan militer dalam aksi okupasi. 

Saat Brazil menggelar Piala Dunia  tahun 2014, dia menghelat ajang tandingan yang dilabeli 'Copa de Povo' alias Piala Rakyat. Itu merupakan aksi pendudukan 23.000 tuna wisma di 7 negara bagian. Kembali namanya nongol sebagai pembicaraan. Tiga tahun kemudian, walau cuma sekejap, dia dijebloskan ke penjara.

Menyelesaikan pendidikan dengan tiga jenis kepandaian akademik: filsafat, psikiatri, dan sejarah, Boulos dikenal sebagai pendidik dan penulis populer. Pria berambut ikal ini masuk dalam 100 wajah pemimpin baru di Majalah Times terbitan 2021. Dia turut dalam kampanye 'Pembebasan Lula', saat patriakh 'kiri' Brazil itu dikirim ke penjara. 

Menurut anggota Partai Buruh (PT), Boulos turut menangis saat Lula diseret paksa ke bui. Sejak itu dia memiliki hubungan erat dengan Lula. Sementara Lula menyebutnya "anak ini memiliki masa depan menjanjikan." Pada 2018, Boulos bergabung ke partai politik, sesuatu yang didiskusikannya secara alot dengan pasangannya Natalia. Perempuan aktivis yang dikenalnya sejak lama.

Boulos tak tertarik masuk Partai Buruh (PT) yang besar. Dia memilih Partai Sosialisme dan Kebebasan (PSOL), sempalan dari Partai Buruh (PT). Di tahun yang sama, dia menjadi kandidat presiden termuda dalam sejarah Brazil. Uji coba politiknya itu belum berhasil, pun saat maju sebagai walikota Sao Paolo di tahun 2020. Tapi, namanya makin melambung.

"Dia salah satu pemimpin gerakan sosial Brasil termuda dan paling menjanjikan. Diberkahi pelatihan etika dan intelektual yang baik, ia membuat pilihan radikal bagi masyarakat termiskin. Sederhana, santai, dan cerdas." Demikian pengakuan Frei Beto, tokoh Teologi Pembebasan, tentang Boulos. 

Dianggap menyerupai Lula, -karena kemiripan wajahnya dengan presiden Brazil saat muda-, Boulos dipercaya sebagai tampilan anyar generasi baru politik 'kiri' Brazil. Sekarang Boulos ada di parlemen usai meraup satu juta suara dari teritori terpadat Brazil, Sao Paolo. "Ini adalah awal dari sebuah siklus", yakinnya. 

Meninggalkan privilege sejak muda, Boulos adalah kisah yang kontras. Tak serupa sosok lain yang justru memakai 'hak istimewa' untuk menjadi ketum partai dalam kurun waktu tiga hari saja. Kalau yang terakhir ini, cerita teruk yang sudah-sudah, dari negeri yang tak mengenal malu. 


***

Adityo Fajar