Refleksi Hari Pekerja Migran Dunia dalam Tiga Nama, Satu Manusia


Oleh: Khamid Istakhori*

Catatan kecil untuk International Migrants Day 2023

Siang ini, di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Tawau, saya menunggu di pos sekuriti, janji bertemu dengan Pak Calderon; pejabat di KJRI di Tawau. Ini pertemuan yang lama kami rencanakan, sebelum saya berangkat ke Tawau setengah bulan lalu. Pertemuan informal biasa sebenarnya, tapi saya meyakini, obrolan biasa sebenarnya jauh lebih efektif dan dekat dibanding pertemuan birokratif yang protokoler.

Sembari menunggu  giliran masuk, saya menyaksikan pekerja migran Indonesia keluar masuk pintu kecil di samping pos, laki-perempuan, tua-muda, remaja, kadang perempuan paruh baya membawa serta anak-anak mereka, datang dengan berbagai keperluan. Satpam sangat sabar melayanai mereka. Setelah menanyakan keperluan dan identitas diri, biasanya akan diarahkan untuk menuju ke suatu ruangan, bertemu dengan pejabat yang relevan. Meskipun wajah-wajah mereka ceria, saya tahu, ada banyak masalah yang mereka hadapi. Ada banyak tekanan yang mereka rasakan. Rata-rata, permasalahan mereka dimulai dari dokumen. Dan ketika permasalahan dimulai dari dokumen, tekanannya akan bertambah dua tiga kali lipat. “Dokumen adalah perlindungan pertama yang utama, tanpa dokumen sebenarnya pekerja migran rentan mendapatkan masalah,” jelas Bu Heni Hamidah, Konsul Jenderal Republik Indonesia di Tawau.

Saya teringat, beberapa bulan sebelumnya, di Jakarta, saya mendampingi seorang ex-pekerja migran Indonesia di Malaysia. Karena satu permasalahan, saya harus mendampinginya dalam kunjungan ke Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, Rumah Sakit Polri, dan beberapa pejabat lainnya di Jakarta. Bahkan, saya harus mengurus pemesanan tiket keberangkatannya dari sebuah desa kecil di Kabuoaten Morowali Sulawesi Tengah. Saya meminta KTP untuk memesan tiket pesawat. Dari sini, pertanyaan-pertanyaan muncul.

“Ha, namamu Ratiman? Bukankah namamu adalah Rahman?

“Rahman itu nama saya setelah di Malaysia, Pak,”

Bertemu dengan Rahman di Jakarta, saya mendampinginya menyelesaikan berbagai urusan untuk mengadvokasi kasusnya. Rahman ditangkap oleh polisi Malaysia dengan tuduhan tidak berdokumen, padahal dia pemegang paspor resmi yang masih berlaku, dengan izin kerja yang juga masih valid. Saat pandemi Covid-19 mendera negeri-negeri di seluruh dunia, pabrik tempatnya bekerja memberlakukan kebijakan tidak membayar upah. Rahman aktif di kesatuan (sebutan untuk serikat pekerja di Malaysia). Dia, termasuk pekerja migran yang aktif menggerakkan serikat pekerja di perusahaan. Setelah melalui berbagai aksi dan negosiasi, tuntutan dikabulkan. Otoritas pemerintah lokal di Tawau memerintahkan perusahaan membayar upah yang tidak dibayar. Aksi itu berbuntut, perusahaan menarget pekerja migran yang aktif dalam kesatuan, salah satunya Rahman yang sangat aktif. 

Rahman ditangkap di mess pekerja pada suatu malam dengan tuduhan melakukan kekerasan seksual, dibawa ke kantor polisi, diintimidasi, tanpa diizinkan berkomunikasi dengan serikat pekerja. Tak ada pendampingan dari pengacara, apalagi konsulat. Tuduhan pertama, melakukan kekerasan seksual tidak terbukti dan seharusnya Rahman dibebaskan. Tapi, sepertinya penangkapan Rahman memang berdasarkan pesanan. Polisi, kemudian mengubah tuduhannya sebagai pekerja migran tak berdokumen. “Kamu ngaku saja, sebagai pekerja migran tak berdokumen, biar urusannya mudah,” gertak polisi. Kalau Rahman menolak, polisi mengancam akan menghukum Rahman dengan penjara 20 tahun. Siapa tak merinding dengan ancaman itu? Akhirnya Rahman menuruti kemauan komandan polisi. Setelah melalui persidangan, akhirnya Rahman divonis penjara 11 bulan dengan “bonus” hukuman cambuk rotan. Saat eksekusi, menurut cerita Rahman, dia ditempatkan di ruang tertutup. Berhadapan dengan algojo tinggi besar memegang rotan. Dia mengalami 5 kali cambukan di paha belakang, tepat di bawah pantat. “Saya menahan sakit yang tak terkira dan hampir pingsan!”kenang Rahman dengan mata berkaca-kaca. 

STIEU (Sabah Timber Industries Employees Union/Kesatuan pekerja-pekerja Industri Perkayuan Sabah) melakukan advokasi. Rahman akhirnya dilepaskan dari penjara dideportasi, pulang ke Morowali dan bertemu dengan keluarga dan butuh waktu lama auntuk memulihkan traumatiknya. Beberapa kali saya menghubungi melalui pesan WahtsApp, dia menolak bertemu. Semua orang dicurigai sebagai bagian dari polisi. Butuh waktu lebih dari setahun untuk membuatnya kembali percaya diri, itupun sesekali mengalami traumatiknya. Ketika saya ajak masuk ke kedutaan Besar Malayisa di Jakarta, dia menolak. “Jangan masukkan kembali saya ke penjara,” katanya keras. Demikian juga ketika memasuki Rumah Sakit Polri di jakarta, dia mengalami traumaatik yang sama. Semua dokter di RS Polri Jakarta yang memeriksa bekas luka Rahman mengecam penyiksaan tersebut. Kami memerlukan pemeriksaan ulang terhadap Rahman untuk melengkapi dokumen untuk gugatan kepada Pemerintah Malaysia atas kejadian tersebut. 

Untuk meredakan traumatiknya, saya mengajaknya berkeliling menikmati Jakaarta. Beberapa hari di Jakarta, saya berusaha mengajaknya menikmati suasana kota. Pergi ke kota, naik kereta listrik, berbelanja, makan di warung-warung tenda, sholat di Masjid Cut Meutia Cikini, hingga menemaninya berbelanja baju-baju buat anaknya. Sampai akhirnya, sebelum pulang ke Morowali, dia mengatakan dengan kalimat yang tegas, “Saya harus kuat agar kejadian serupa tidak menimpa kawan-kawan lain di Malaysia.” 

Lalu, kenapa namanya menjadi Rahman, padahal sebenarnya namanya adalah Ratiman? Di Malaysia ada kebijakan pekerja migran hanya boleh bekerja selama 10 tahun di sana. Setelah melewati waktu 10 tahun, dia harus kembali ke Indonesia untuk mengurus berbagai dokumen untuk persyaratan kerja. Beberapa memanfaatkan kesempatan pembatuan dokumen itu untuk pulang ke Indonesia, bertemu keluarga, dan menikmati suasana kampung halaman. Tetapi, sangat banyak yang tak sanggup melakukanya. Alasan terbesar tentu saja biaya. Diperlukan biaya tak sedikit untuk pembaruan dokumen, diantaranya untuk tiket pesawat, uang saku, membeli oleh-oleh, dan berbagai keperluan di kampung. Akhirnya banyak yang mengambil jalana pintas, “mengakali” perubahan paspor dengan nama baru. Dari sinilah cerita Ratiman berubah menjadi Rahman.

Sesuai data KTP, namanya Ratiman. Nama itu pula yang tercantum dalam paspor pertamanya. Setelah 10 tahun bekerja di Malaysia, atas permintaan perusahaan tempatnya bekerja, diubahlah namanya menjadi Ratman. Alasan perusahaan sangat simpel, agar tidak perlu pulang kampung untuk perbaikan dengan biaya tinggi. Semua tahu, alasan sebenarnya adalah perusahaan enggan kehilangan pekerjanya karena akan mengganggu proses produksi di pabrik.Ratiman tak bis menolak sebaba baginya terpenting adalah tetap bekerja dari pada menjadi pengangguran di Indonesia. Demikian juga, kejadian serupa terjadi pada sepuluh tahun berikutnya. Namanya berubah, dari ratman menjadi Rahman, nama yang sekarang ada di paspor yang dipegangnya. Praktik ini, meskipun sangat beresiko bagi pekerja migran, tetap ditempuh sebab tak banyak pilihan yang lebih mudah. Praktik ini pula, yang menjadikan pekerja migran “tersandera” jerat-jerat masalah di Malaysia. Perbedaan nama, bisa saja berujung penjara, bahkan kehilangan nyawa, dan tentu saja tanpa ada jaminan apapun. Kemungkinan, namanya tidak dikenal. Runyam dan penuh petaka bukan?

Selamat memperingati Peringatan Hari pekerja Migran Sedunia, International Migrants Day 2023! Salam dari Ratiman, Ratman, dan Rahman serta puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan pekerja migran dengan nasib yang sama.


*Penulis adalah Regional Officer untuk BWI Asia Pasifik


Tawau, 18 Desember 2023.