IWD 2024: Merebut Akses Kesejahteraan dan Kesetaraan Bagi Perempuan dan Buruh

Peringatan Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD) yang jatuh setiap tanggal 8 Maret dirayakan dan diperingati dengan berbagai cara. Hari Perempuan Internasional ditujukan untuk memperingati perjuangan dalam mewujudkan kesetaraan dan kesejahteraan guna meraih hak-hak dan akses yang sama dengan laki-laki. Salah satu kampanye yang sering didengungkan dalam setiap momentum ini yakni akses dan keterlibatan perempuan dalam posisi kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Perempuan, terutama mereka yang berasal dari kelompok marginal, terus menghadapi hambatan dalam hal mencari peran kepemimpinan.

Meskipun berbagai upaya untuk memajukan hak perempuan dalam akses kepemimpinan di ruang-ruang publik dilakukan sejak tahun 1900-an, namun sampai sekarang faktanya masih terjadi diskriminasi terhadap perempuan untuk mendapatkan akses dan hak yang setara dengan laki-laki. Situs resmi United Nation Women melaporkan, ada banyak kasus diskriminasi terhadap perempuan yang membatasi hak-hak mereka di ruang privat maupun publik, seperti di tempat kerja. Perempuan sering ditempatkan dalam pekerjaan-pekerjaan yang dianggap kurang penting, atau pekerjaan-pekerjaan yang bukan pada pengambilan keputusan. Mengingat hal tersebut merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang paling banyak terjadi di dunia, tindakan penghapusan kekerasan berbasis gender menjadi prioritas yang perlu dilakukan, guna menghilangkan akar penyebab diskriminasi. Berdasarkan data dari 87 negara, 1 dari 5 perempuan dan anak perempuan di bawah usia 50 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan intimnya.

Selain itu, praktik berbahaya, seperti pernikahan dini, juga telah menghilangkan masa kanak-kanak milik 15 juta anak perempuan di bawah usia 18 tahun, yang terjadi di tiap tahunnya Dikutip dari buku Urgensi Kesetaraan Gender di Papua (2021) karya Yanuarius You, kemiskinan menjadi penyebab langsung terjadinya kekerasan gender. Perempuan di keluarga berpendapatan rendah, secara ekonomi mempunyai sedikit akses atas fasilitas pendidikan, mengalami kemiskinan, dan kekerasan. Di Indonesia sendiri, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat jumlah laporan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terus meningkat tiap tahunnya.

Bagi perempuan yang bekerja sebagai buruh, lahirnya UU Cipta Kerja semakin mempersulit akses perempuan atas kesejahteraan hidup. UU Cipta Kerja telah mengurangi jaminan perlindungan yang sudah ada di dalam UU Ketenagakerjaan. Sistem kontrak seumur hidup dan sistem outsourcing yang bisa diterapkan pada semua jenis pekerjaan. Pengurangan hak atas upah dan pesangon, termasuk juga sistem pengupahan yang ditetapkan berdasarkan satuan waktu. Model hubungan kerja ini merisikokan perempuan pekerja kehilangan hak-hak sebagai pekerja, termasuk cuti dan tunjangan lainnya terkait fungsi reproduksinya. Sistem pengupahan berdasarkan satuan waktu berpotensi menghilangkan hak pekerja perempuan atas cuti haid, hamil, melahirkan, pasca keguguran. Sebab dengan sistem pengupahan berdasarkan satuan waktu, aspek-aspek reproduksi buruh perempuan terancam tidak ditanggung dalam upah.

Dalam seminar publik yang dilakukan SERBUK Indonesia dan UIN Sunan Kalijaga pada Rabu, 6 Maret 2024 lalu, salah satu hal yang tak bisa ditinggalkan dalam perjuangan kesetaraan bagi perempuan adalah memperjuangkan perlindungan sosial bagi perempuan. Perlindungan sosial itu adalah jaminan upah yang setara bagi perempuan atas pekerjaannya yang sama dengan laki-laki, jaminan atas cuti haid dan melahirkan yang lebih panjang, kebebasan berserikat bagi perempuan, serta penghapusan terhadap praktik diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.

Berpijak pada situasi yang berkembang dari hari ke hari, dimana negara justru hadir sebagai aktor yang terus mendiskriditkan keseteraan bagi perempuan dan buruh perempuan, maka tentu kita menyadari menyerahkan nasib perempuan dan pemenuhan perlindungan sosial bagi perempuan terhadap negara semata tidak akan membawa pada kenyataan yang lebih baik. Buruh, perempuan, dan rakyat pekerja yang lain harus membangun kekuatannya sendiri, mengerahkan upayanya untuk perjuangan hak-hak demokratis rakyat.

SERBUK Indonesia sebagai bagian dari organisasi dan perjuangan buruh memiliki komitmen yang sama besar dengan perjuangan aktivis perempuan, untuk mendorong terciptanya akses yang setara bagi perempuan di dalam perjuangan ekonomi dan kepemimpinan perempuan baik di dalam organisasi maupun di ruang-ruang publik lainnya. SERBUK mengakui, hal ini tidak lah mudah, besarnya tantangan termasuk budaya yang sudah mengakar di masyarakat membuat pekerjaan ini tidak semulus jalan tol. Namun demikian, upaya untuk terus melakukan kampanye, advokasi, hingga pendidikan menjadi pekerjaan yang tidak boleh berhenti. Sampai pada hari kemenangan itu tiba yakni hari dimana buruh dan perempuan merebut akses kesejahteraan dan peran kepempimpinan yang setara dengan laki-laki. (Britha Mahanani)