Pers Release: Sikap Federasi SERBUK Indonesia atas 'ramai-ramai' TAPERA

Singkatnya, Federasi SERBUK Indonesia akan mendukung Program TAPERA jika:

1. Pemerintah mampu mewujudkan jaminan kepastian kerja bagi para pekerja dengan menjamin semua pekerja dipekerjakan dengan status PKWTT dan mengubah semua aturan hukum yang mempermudah para pemberi kerja melakukan PHK sepihak kepada pekerja.

2. Pemerintah menjamin bahwa krisis yang terjadi dan PHK yang dilakukan para pemberi kerja tidak membuat para pekerja kehilangan pendapatannya/penghasilannya. 

3. Pemerintah memastikan bahwa semua pekerja memperoleh jaminan sosial dan memberikan jaminan kepastian upah layak melalui upah minimum nasional  sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto yang mengatakan upah para pekerja seharusnya minimum Rp10 juta per bulan. Artinya TIDAK ADA LAGI UPAH MURAH BAGI PEKERJA.

4. Pemerintah, pejabat publik, badan/lembaga-lembaga publik yang berhubungan dengan pelayanan publik dan penegakan hukum bersih dari tindakan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Jadi, Apa itu TAPERA?

Tapera merupakan singkatan dari Tabungan Perumahan Rakyat, yang dicetuskan pada 2016 lalu melalui UU Nomor 4 Tahun 2016. Dalam UU Nomor 4 Tahun 2016 beserta PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dinyatakan Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan oleh Peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Pengembalian simpanan dan hasil pemupukan diberikan kepada peserta paling kama 3 bulan setelah kepesertaan berakhir.

Besaran Simpanan Peserta yakni sebesar 3% yang terdiri dari besaran 2,5% yang ditanggung pekerja dan 0,5% oleh pemberi kerja. Sementara Peserta yang merupakan pekerja mandiri, 3% yang harus dibayarkan seluruhnya menjadi tanggungan pekerja. BP Tapera menghadirkan konsep Rumah Tapera. Rumah Tapera adalah pembiayaan perumahan yang diberikan oleh BP Tapera “untuk rumah pertama” meliputi Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Bangun Rumah (KBR) dan Kredit Renovasi Rumah (KRR) dengan tenor atau jangka waktu penyelesaian cicilan yang panjang hingga 30 tahun dan suku bunga tetap di bawah suku bunga pasar.

Selanjutnya baik UU Nomor 4 Tahun 2016 maupun PP Nomor 25 Tahun 2000 menentukan siapa saja peserta Tapera itu? Peserta Tapera yakni setiap WNI dan WNA pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia paling singkat 6 bulan yang telah membayar simpanan. Sementara kriteria peserta Tapera yakni pertama, Pekerja dan Pekerja Mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta. Kedua, Pekerja mandiri yang berpenghasilan di bawah upah minimum dapat menjadi peserta.

Dana Tapera sendiri yang dikumpulkan oleh BP Tapera (yakni badan pengelola Tapera), pemanfaatannya dapat diberikan untuk pemilikan rumah pertama, pembangunan rumah pertama, dan perbaikan rumah pertama, yang mana pemberiannya hanya bisa diberikan sebanyak 1 kali. Syarat pembiayaan diberikan jika kepesertaan paling singkat 12 bulan, merupakan golongan masyarakat berpenghasilan rendah, belum punya rumah dan/atau menggunakan untuk pemilikan, pembangunan, atau perbaikan rumah pertama. Sementara pembiayaan ini baru dapat diberikan setelah ada penilaian kelayakan yang dilakukan oleh BP Tapera dengan kriteria lama masa kepesertaan, kelancaran bayar simpanan, dalam situasi yang mendesak, dan ketersediaan dana. Dua komponen kriteria yang terakhir sifatnya menjadi sangat tidak pasti, multitafsir, dan subyektif.

Lantas, apakah program ini menguntungkan bagi para pekerja yang saat ini saja menghadapi situasi upah murah, rentan PHK, biaya hidup yang semakin mahal, biaya kesehatan dan pendidikan yang meroket? Banyak sekali poin-pon kebijakan ini yang PERLU DIKRITISI, setidaknya:

Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2016 maupun PP Nomor 25 Tahun 2000 disebutkan bahwa kepesertaan Tapera bersifat wajib bagi pekerja yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum. Terminologi “wajib” secara hukum tentu akan menimbulkan konsekuensi berupa sanksi. Setelah dicermati dalam aturannya sanksi yang diterapkan sanksi administrasi berupa peringatan tertulis, denda, publikasi ketidakpatuhan bagi pemberi. Sementara di satu sisi perlu dilihat urgensinya bagi pekerja khususnya pekerja yang tidak memerlukan lagi rumah karena sudah punya. Pekerja menjadi tidak memiliki alternatif untuk memilih. Pada dasarnya jika konsep Tapera ini adalah tabungan atau simpanan sejumlah uang yang dibayar secara periodik oleh Peserta dan atau Pemberi Kerja, seharusnya pekerja atau masyarakat dipaksa untuk wajib mendaftarkan diri dan membayar simpanan Tapera. Di sisi yang lain dengan situasi obyektif dimana upah pekerja yang murah dan dihadapkan pada kebutuhan hidup yang semakin melambung baik kebutuhan sehari-hari, kesehatan dan biaya pendidikan yang semakin mahal, memaksa pekerja untuk dipotong upahnya untuk dibayarkan pada Tapera hanya akan menambah kesulitan hidup bagi pekerja.

Terkait dengan syarat penilaian kelayakan untuk pembiayaan yang diajukan oleh peserta dimana mencantukan syarat mengenai ketersediaan dana. Pertanyaan yang muncul kemudian, mekanisme apa yang bisa membuktikan mana kala pengajuan pembiayaan ditolak oleh BP Tapera dengan dalih tidak adanya dana yang tersedia? Hal ini tidak dijelaskan dalam aturan baik undang-undang maupun peraturan pemerintah.

Bahwa di dalam aturan (baik UU maupun PP) tidak terdapat pengaturan mengenai pemanfataan dana simpanan Tapera bagi WNA yang bekerja di Indonesia sementara peserta Tapera sebagaimana sudah dijelaskan adalah setiap WNI dan WNA pemegang visa kerja di wilayah Indonesia. Pertanyaannya kemana dana yang sudah disetorkan mereka bermuara?

Disebutkan bahwa dana simpanan Tapera dikembalikan setelah kepesertaan berakhir, kemudian diatur kepesertaan berakhir jika pekerja telah pensiun atau bagi pekerja mandiri telah berusia 58 tahun, peserta meninggal dunia, atau peserta tidak memenuhi lagi kriteria sebagai peserta selama 5 tahun berturut-turut. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai peserta yang tidak memenuhi lagi kriteria. Persoalan baru juga akan muncul bagaimana dengan pekerja yang mengundurkan diri atau yang terkena PHK bukan karena pensiun? Apakah dia tetap harus membayar sementara dia kehilangan penghasilannya? Apakah mereka dapat menerima pengembalian dana yang sudah mereka bayarkan ketika yang dimaksud dengan berakhirnya kepesertaan tidak mencantumkan kriteria dengan pekerja yang mengundurkan diri atau yang terkena PHK bukan karena pensiun.

Berkenaan dengan pengelolaan dana Tapera yang setidaknya melibatkan 3 badan usaha yakni BP Tapera yang akan mengelola dana Tapera, Bank Kustodian yang akan menyimpan dan menarik dana peserta Tapera, juga Bank yang ditunjukan untuk menyalurkan dana pembiayaan dari Tapera. Banyaknya badan usaha yang akan terlibat dalam urusan dana Tapera berpotensi pada kerumitan proses, pertanggungjawaban yang tidak jelas terhadap publik mengingat terdapat perputaran keuntungan yang besar di sana. Contoh saja jika jumlah pekerja di Indonesia tahun 2024 sekitar 150 juta dengan upah rata-rata 3.647.920, artinya setidaknya setiap pekerja akan dipotong 109.437, jika dikumpulkan dalam satu bulan ada 16,5 triliun rupiah dan satu tahun 197 triliun rupiah, pertanyaannya siapa yang menikmati keuntungan itu? Bagaimana publik dapat meminta transparansi tentang pengelolaan dana yang sudah dibayarkan melalui Tapera. Lebih-lebih dengan data yang menunjukkan Indonesia sebagai negara paling korup ke-4 di dunia, program ini justru akan menjadi wahana baru praktik korupsi di Indonesia ditambah lagi selama ini dana publik yang dikelola oleh pemerintah atau badan publik seringkali meninggalkan banyak masalah. Salah satu yang sampai saat ini tidak jelas penyelesaiannya adalah kasus yang melibatkan Jiwasraya.

Operasional BP Tapera yang juga ditopang selain dari penyertaan modal negara juga dari pemupukan dana Tapera yang dibayarkan oleh rakyat, pemupukan dana Tapera bisa diambil dari bunga, investasi, dll yang seharusnya dapat diterima rakyat pada saat pengembalian dana Tapera ketika kepesertaannya berakhir, namun kemudian dipotong untuk membiayai operasional BP Tapera. Artinya rakyat harus terbebani lagi untuk membayar gaji, insentif, kebutuhan lain BP Tapera yang belum tentu membawa keuntungan bagi rakyat, sementara rakyat saja kesusahan membiayai kebutuhan hidupnya sendiri.

BP Tapera hanya dapat dibubarkan dengan Undang-Undang artinya putusan pengadilan pun tidak dapat membubarkan BP Tapera yang misalnya terbukti melakukan penyimpangan dalam pengelolaan dana Tapera, badan ini juga tidak bisa dipailitkan. Pertanyaannya akan muncul bagaimana ketika banyak peserta/nasabah yang tidak menerima pengembalian dana simpanan yang kepesertaannya berakhir? Apa bentuk pertanggungjawaban hukumnya atau mekanisme hukum apa yang ditempuh untuk meminta pertanggungjawaban keperdataan dari BP Tapera?

Mengapa TAPERA harus dikritisi?

Selain dari beberapa catatan poin yang diuraikan di atas, hal yang mendasar sampai saat ini pemerintah tidak memiliki grand design kebijakan yang jelas untuk mengatasi masalah backlog rumah, dengan program Tapera yang ada justru terlihat ada maksud pemerintah ingin berinvestasi di balik kebijakan ini. Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda yang dilansir dari Kontan.co.id, menguraikan Tapera adalah dana yang dikumpulkan dari peserta akan dikelola ke dalam beberapa portofolio investasi, yaitu ke korporasi 47%, SBN sebanyak 45% dan sisanya deposito. Dengan komposisi SBN sebanyak 45% ini tentu akan memudahkan pemerintah untuk menerbitkan SBN karena bisa dibeli oleh badan pemerintah, termasuk BP Tapera melalui uang masyarakat. Pemerintah ingin menaikkan bunga SBN, tentu jadi beban hutang. Ketika swasta enggan investasi di SBN, badan pemerintah jadi solusinya.

Pemberlakukan kebijakan ini bagi pekerja justru akan menambah daftar penderitaan bagi pekerja. Pasca berlakunya UU Cipta kerja pekerja dihadapkan pada kondisi sangat sulit mendapatkan kepastian kerja, karena statusnya PKWT dan pekerja semakin mudah untuk di PHK, praktek upah murah dimana kenaikan upah pertahun rata-rata tidak lebih dari 5%. Lalu bagaimana nasib pekerja jika Tapera diberlakukan di wilayah yang upah minimum terendah di Indonesia yaitu Jawa Tengah dengan nilai UMP Rp2.036.947. Dari penghasilan segitu, masih harus dipotong iuran BPJS TK Jaminan Hari Tua (JHT) 2%, Jaminan Pensiun (JP) 1%, Dan BPJS Kesehatan 1 %, totalnya sebesar 4% perbulan. Dan jika ditambah lagi dengan Potongan Wajib dari TAPERA yang pastinya akan semakin menambah beban pengeluaran rumah tangga pekerja. Tapera bukannya “Tabungan Perumahan Rakyat” melainkan “Tambahan Penindas Rakyat.”

Menyikapi kebijakan ini, hal yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memenuhi perumahan bagi pekerja:

1. Pemerintah menyediakan perumahan gratis bagi pekerja atau setidak-tidaknya kredit perumahan murah tanpa bunga bagi pekerja. Selain itu Pemerintah juga harus punya grand design kebijakan yang jelas untuk pembangunan rumah bagi pekerja dengan lokasi yang jelas dan terintegrasi dengan transportasi murah bagi pekerja agar tidak kesulitan mengakses tempat kerja.

2. Tidak menerapkan upah murah bagi pekerja, dengan tidak menerapkan upah murah, pekerja akan memiliki penghasilan yang cukup sehingga daya beli juga dapat ditingkatkan, para pekerja dengan upahnya pada akhirnya akan dapat memenuhi kebutuhannya atas tempat tinggal yang layak. 

3. Optimalkan manfaat layanan tambahan (MLT) perumahan pekerja bagi peserta program jaminan hari tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan sebagai ganti program Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Sebagaimana diatur Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 17 Tahun 2021 Perubahan atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 35 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Persyaratan, dan Jenis Manfaat Layanan Tambahan Dalam Program Jaminan Hari Tua.