Ikuti kami di Instagram         Tetap Terhubung

Pekerja Perempuan, Perempuan Pejuang: Menembus Batas Ketimpangan di Dunia Kerja


Dalam sejarah panjang perjuangan kelas pekerja, perempuan seringkali ditempatkan di posisi yang paling rentan. Mereka seringkali dibayar lebih murah, dan diperlakukan lebih rendah. Namun dari balik tekanan itu, tumbuh pula ketangguhan yang luar biasa untuk tetap berjuang.
 
Hari ini, saatnya kita bicara tentang perjuangan pekerja perempuan. Pelecehan seksual di tempat kerja masih menjadi momok besar bagi pekerja perempuan. Bentuknya bisa sangat beragam: mulai dari komentar seksual yang tidak pantas, sentuhan tanpa persetujuan, hingga intimidasi dari atasan jika tidak menuruti perintah akan diPHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Sayangnya, banyak kasus tidak pernah tuntas. Tidak sampai ke meja pelaporan karena minimnya perlindungan terhadap korban.

Menurut data Komnas Perempuan, lebih dari 30% laporan kekerasan terhadap perempuan terjadi di lingkungan kerja. Budaya victim blaming yaitu kecenderungan menyalahkan korban, contohnya pelecehan seksual terjadi karena cara berpakaian korban yang kurang sopan, dan menuduh kepribadian korban yang menggoda, ketakutan akan kehilangan pekerjaan, dan tidak adanya mekanisme aduan yang aman membuat para korban memilih diam. Padahal, tempat kerja harus menjadi ruang yang aman, produktif, dan setara. UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang telah disahkan, semestinya menjadi payung hukum untuk mendorong setiap institusi kerja membangun sistem perlindungan yang berpihak pada korban.

Meski sudah memasuki era kerja modern, upah perempuan masih lebih rendah dibanding laki-laki, bahkan untuk posisi dan tanggung jawab yang setara. Fenomena ini dikenal sebagai gender pay gap. Data dari International Labour Organization (ILO) mencatat bahwa secara global, perempuan menerima upah 20% lebih rendah daripada laki-laki. Di Indonesia, angka ini sedikit lebih kecil tetapi tetap signifikan, terutama di sektor informal, manufaktur, dan pelayanan. Kesenjangan ini bukan hanya soal angka. Ia mencerminkan nilai kerja perempuan yang dianggap “lebih rendah,” seringkali karena peran domestik yang disematkan secara budaya.

Selain kesenjangan upah dan pelecehan di tempat kerja, perempuan juga harus menghadapi beban kerja ganda: menunaikan tugas profesional di ruang publik sekaligus menyelesaikan pekerjaan domestik yang tak kunjung diakui nilainya. Mengurus rumah, merawat anak, menjaga lansia, adalah tanggung jawab yang menumpuk di atas pundak yang sama. Tekanan ini tidak hanya menguras tenaga, tapi juga menggerus kesehatan mental. Banyak pekerja perempuan mengalami burnout, kelelahan fisik, bahkan mental menjadi depresi, tetapi tetap dipaksa “tampil kuat.” Dunia kerja, sayangnya, belum sepenuhnya ramah terhadap isu keseimbangan hidup, dan masyarakat pun belum sepenuhnya adil dalam membagi tanggung jawab gender.

Kesejahteraan perempuan pekerja seharusnya dipandang sebagai investasi jangka panjang, bukan beban. Kebijakan seperti jam kerja fleksibel, cuti ayah, fasilitas daycare di tempat kerja, dan budaya kerja yang mendukung kesetaraan adalah bagian dari langkah struktural yang mendesak untuk diambil.

Dalam upaya mewujudkan keadilan ini, gerakan buruh internasional telah menegaskan peran penting perempuan dalam serikat. Building and Wood Workers International (BWI), sebagai federasi global yang menaungi serikat buruh di sektor konstruksi, kayu, dan bahan bangunan termasuk Federasi SERBUK (Serikat Buruh Kerakyatan) Indonesia mempunyai progam kerja yang menetapkan bahwa perempuan harus dilibatkan minimal 30% dalam setiap kegiatan serikat. Tidak hanya sebagai peserta, tetapi sebagai pengambil keputusan dan penggerak utama perubahan. BWI juga mengembangkan protokol perlindungan yang ketat terhadap perempuan dari segala bentuk kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja dan dalam aktivitas organisasi. Protokol ini tidak hanya menjadi panduan etis, tetapi juga fondasi untuk membangun ruang aman bagi seluruh pekerja perempuan, di mana pun mereka berada.

Pekerja perempuan bukan hanya bagian dari tenaga kerja. Mereka adalah penopang ekonomi keluarga, tulang punggung industri, dan agen perubahan sosial. Tapi selama tempat kerja masih menjadi ruang yang membatasi mereka mengatasi pelecehan, ketimpangan upah, atau beban ganda yang tak adil kita belum bisa bicara tentang kemajuan yang setara.

Perempuan bukan beban. Perempuan adalah kekuatan.
Dan tempat kerja yang setara bukanlah utopia. Ia adalah hak yang harus diperjuangkan bersama!
Serbuk adalah serikat buruh yang di dirikan pada 11 Desember 2013.

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.