Selama lebih dari tiga dekade, nama Soeharto melekat dalam sejarah politik Indonesia. Sebagian orang mengingatnya sebagai “Bapak Pembangunan”, simbol stabilitas dan kemajuan ekonomi. Namun bagi jutaan rakyat, buruh, petani, mahasiswa, dan korban kekerasan politik, nama itu justru menjadi pengingat tentang penindasan, pembungkaman, dan ketidakadilan yang dilembagakan negara.
Kini, ketika muncul kembali wacana untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional, kita dihadapkan pada pertanyaan moral dan historis: apakah bangsa ini benar-benar sudah berdamai dengan masa lalunya, atau justru sedang berusaha melupakannya?
Buruh tidak diperbolehkan membentuk serikat independen. Semua diarahkan ke satu wadah resmi yang dikendalikan pemerintah. Aksi mogok, demonstrasi, dan kritik terhadap perusahaan dianggap ancaman keamanan negara. Para aktivis, organiser, dan rakyat biasa yang berani menentang, kerap dicap “subversif”, diculik, disiksa, bahkan dihilangkan.
Soeharto memang membangun jalan, bendungan, dan pabrik, tapi di saat yang sama, ia juga membangun rezim yang menindas di mana rakyat dipaksa diam atas nama pembangunan.
Korupsi, kolusi, dan nepotisme bukan sekadar “penyimpangan”, melainkan bagian dari sistem kekuasaan Orde Baru. Kekayaan negara mengalir ke segelintir elit, sementara buruh dan petani tetap berjuang dengan upah murah, tanpa perlindungan, dan tanpa hak bersuara.
Bagaimana mungkin seseorang yang membangun kekuasaan dengan menindas rakyat dan keserakahan bisa disebut pahlawan?
Di bawah Orde Baru, buruh hanya dianggap “tenaga produksi”, bukan manusia dengan martabat. Hak berserikat dicabut, hak berpendapat dibungkam, dan hak untuk menentukan arah pembangunan dihapuskan. Rezim itu menanamkan ide bahwa pekerja harus patuh, bukan berpikir.
Karena itu, perjuangan buruh hari ini bukan sekadar menuntut upah layak, melainkan juga menuntut ruang demokrasi yang sejati, ruang di mana pekerja dapat bersuara, mengorganisir diri, dan terlibat langsung dalam pengambilan keputusan ekonomi dan politik.
Sejarah bukan untuk dipuja, tetapi untuk dipelajari. Kita tidak butuh “pahlawan” yang datang dari atas, melainkan kekuatan rakyat yang tumbuh dari bawah dari pabrik, dari desa, dari hutan, dari ruang-ruang perjuangan sehari-hari.
Keadilan sosial tidak akan lahir dari mitos kepemimpinan tunggal, tapi dari kesadaran kolektif bahwa rakyatlah subjek sejati sejarah.
Kini, dua puluh tujuh tahun kemudian, upaya untuk mengangkatnya sebagai pahlawan adalah bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan itu sendiri.
Bangsa ini tidak akan maju dengan memutihkan sejarah, tetapi dengan menatapnya terbuka agar kesalahan masa lalu tidak terulang, dan agar generasi mendatang tumbuh dengan kesadaran kritis bahwa keadilan sosial bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan.
SERBUK Indonesia
Bersatu, Bergerak, dan Berjuang untuk Keadilan Pekerja dan Rakyat.
Kini, ketika muncul kembali wacana untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional, kita dihadapkan pada pertanyaan moral dan historis: apakah bangsa ini benar-benar sudah berdamai dengan masa lalunya, atau justru sedang berusaha melupakannya?
Rezim Pembangunan yang Menindas
Era Orde Baru dibangun di atas jargon “stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi”. Di balik itu, negara menegakkan kekuasaannya melalui kontrol ketat terhadap media, pembatasan kebebasan berserikat, dan pembungkaman suara rakyat.Buruh tidak diperbolehkan membentuk serikat independen. Semua diarahkan ke satu wadah resmi yang dikendalikan pemerintah. Aksi mogok, demonstrasi, dan kritik terhadap perusahaan dianggap ancaman keamanan negara. Para aktivis, organiser, dan rakyat biasa yang berani menentang, kerap dicap “subversif”, diculik, disiksa, bahkan dihilangkan.
Soeharto memang membangun jalan, bendungan, dan pabrik, tapi di saat yang sama, ia juga membangun rezim yang menindas di mana rakyat dipaksa diam atas nama pembangunan.
Warisan Gelap: Korupsi dan Nepotisme
Tidak bisa dipungkiri, keluarga dan kroni Soeharto menguasai hampir semua sektor ekonomi. Dari migas hingga kehutanan, dari perbankan hingga media. Rezim ini melahirkan konglomerasi yang berakar dari kekuasaan, bukan dari kerja keras rakyat.Korupsi, kolusi, dan nepotisme bukan sekadar “penyimpangan”, melainkan bagian dari sistem kekuasaan Orde Baru. Kekayaan negara mengalir ke segelintir elit, sementara buruh dan petani tetap berjuang dengan upah murah, tanpa perlindungan, dan tanpa hak bersuara.
Mengapa Kita Menolak Menjadikan Soeharto Pahlawan
Menjadikan Soeharto sebagai pahlawan bukan hanya bentuk pemutarbalikan sejarah, tetapi juga penghinaan terhadap korban-korban kekerasan politik dan rakyat pekerja yang ditindas oleh sistem yang ia bangun.Mengangkatnya sebagai pahlawan berarti menutup mata terhadap:
- Pembunuhan massal 1965–1966 yang masih belum mendapatkan keadilan.
- Pembungkaman kebebasan sipil dan politik selama lebih dari 30 tahun.
- Pemusnahan serikat buruh independen dan kriminalisasi gerakan rakyat.
- Akumulasi kekayaan yang luar biasa di tangan keluarga dan kroni.
- Penindasan terhadap kelompok minoritas, petani, dan pekerja sektor kehutanan yang kehilangan hak atas tanah dan sumber daya alam.
Bagaimana mungkin seseorang yang membangun kekuasaan dengan menindas rakyat dan keserakahan bisa disebut pahlawan?
Melawan Lupa: Perspektif Gerakan Buruh Rakyat
Bagi gerakan buruh seperti SERBUK Indonesia, menolak Soeharto sebagai pahlawan berarti menolak lupa terhadap sejarah penindasan kelas pekerja.Di bawah Orde Baru, buruh hanya dianggap “tenaga produksi”, bukan manusia dengan martabat. Hak berserikat dicabut, hak berpendapat dibungkam, dan hak untuk menentukan arah pembangunan dihapuskan. Rezim itu menanamkan ide bahwa pekerja harus patuh, bukan berpikir.
Karena itu, perjuangan buruh hari ini bukan sekadar menuntut upah layak, melainkan juga menuntut ruang demokrasi yang sejati, ruang di mana pekerja dapat bersuara, mengorganisir diri, dan terlibat langsung dalam pengambilan keputusan ekonomi dan politik.
Selama masa lalu belum terang, keadilan sosial hanyalah angan
Menolak Soeharto sebagai pahlawan bukan berarti menolak pembangunan. Tetapi kita menolak model pembangunan yang mengorbankan kebebasan dan martabat rakyat.Sejarah bukan untuk dipuja, tetapi untuk dipelajari. Kita tidak butuh “pahlawan” yang datang dari atas, melainkan kekuatan rakyat yang tumbuh dari bawah dari pabrik, dari desa, dari hutan, dari ruang-ruang perjuangan sehari-hari.
Keadilan sosial tidak akan lahir dari mitos kepemimpinan tunggal, tapi dari kesadaran kolektif bahwa rakyatlah subjek sejati sejarah.
Mengingat Agar Keadilan Tidak Hilang
Gerakan buruh, mahasiswa, dan rakyat Indonesia berhasil menjatuhkan Soeharto pada Mei 1998 bukan karena kebencian pribadi, melainkan karena kesadaran bahwa negara harus kembali ke tangan rakyat.Kini, dua puluh tujuh tahun kemudian, upaya untuk mengangkatnya sebagai pahlawan adalah bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan itu sendiri.
Bangsa ini tidak akan maju dengan memutihkan sejarah, tetapi dengan menatapnya terbuka agar kesalahan masa lalu tidak terulang, dan agar generasi mendatang tumbuh dengan kesadaran kritis bahwa keadilan sosial bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan.
SERBUK Indonesia
Bersatu, Bergerak, dan Berjuang untuk Keadilan Pekerja dan Rakyat.