Jakarta, 2 September 2025 - Pada November 2024 lalu, Rapat Paripurna DPR RI resmi menetapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Perubahan Iklim masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025. Keputusan ini disambut baik oleh masyarakat sipil yang selama ini merasakan dampak paling nyata dari krisis iklim.
Sebagai respons, berbagai organisasi masyarakat sipil mengambil langkah strategis untuk mengawasi jalannya pembahasan RUU ini sekaligus menyiapkan masukan substantif mengenai hal-hal penting yang harus diatur di dalamnya.
Buruh Ikut Suarakan Kepentingan dalam RUU Iklim
Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) Indonesia bersama 13 organisasi masyarakat sipil menghadiri undangan Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) pada 31 Juli 2025 lalu. Pertemuan bertajuk “Konsultasi Subjek Buruh untuk Keadilan Iklim” ini digelar di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta.
Enam serikat buruh turut hadir dalam forum tersebut, di antaranya:
- Federasi Serikat Pekerja Bandara Indonesia (FSPBI)
- Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM)
- Serikat Pekerja PT PLN Nusantara Power (SPNP)
- Persatuan Pegawai PT PLN Indonesia Power (PPIP)
- Federasi Serikat Pekerja Pulp dan Kertas Indonesia (FSP2KI)
- Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (F SERBUK) Indonesia
Dalam forum tersebut, masing-masing serikat memaparkan pengalaman nyata anggotanya menghadapi dampak perubahan iklim di tempat kerja. Misalnya, pekerja konstruksi yang tergabung dalam Serikat Buruh Konstruksi Indonesia (SBKI) kerap menghadapi kondisi kerja ekstrem tanpa fasilitas berteduh atau tempat istirahat yang layak. Bahkan, penyediaan air minum sering diabaikan, padahal pekerja harus tetap terhidrasi ketika bekerja di bawah terik matahari yang menyengat.
RUU Iklim Harus Lindungi Buruh
Melihat fakta tersebut, para buruh menegaskan bahwa RUU Pengelolaan Perubahan Iklim tidak boleh mengabaikan aspek perlindungan pekerja. Regulasi ini harus memuat ketentuan yang menjamin kenyamanan, keamanan, serta keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bagi buruh di tengah krisis iklim yang semakin nyata.
“Sebagaimana proses pembuatan Undang-Undang, kami berharap baik pemerintah maupun DPR membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya, termasuk bagi serikat buruh. Dampak perubahan iklim sangat luar biasa bagi pekerja, salah satunya terkait keselamatan dan kesehatan kerja,” jelas Fajar, delegasi SERBUK Indonesia dalam pertemuan tersebut.
Pertemuan yang difasilitasi ARUKI ini menunjukkan bahwa masyarakat sipil, termasuk buruh, siap berdialog dengan perspektif berbasis fakta lapangan sekaligus didukung bukti ilmiah terkini. Dengan demikian, proses legislasi RUU Pengelolaan Perubahan Iklim tidak hanya responsif terhadap kebutuhan rakyat, tetapi juga berintegritas sains.
SERBUK Indonesia menegaskan: buruh tidak boleh ditinggalkan dalam setiap upaya pengelolaan perubahan iklim.
Melihat fakta tersebut, para buruh menegaskan bahwa RUU Pengelolaan Perubahan Iklim tidak boleh mengabaikan aspek perlindungan pekerja. Regulasi ini harus memuat ketentuan yang menjamin kenyamanan, keamanan, serta keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bagi buruh di tengah krisis iklim yang semakin nyata.
“Sebagaimana proses pembuatan Undang-Undang, kami berharap baik pemerintah maupun DPR membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya, termasuk bagi serikat buruh. Dampak perubahan iklim sangat luar biasa bagi pekerja, salah satunya terkait keselamatan dan kesehatan kerja,” jelas Fajar, delegasi SERBUK Indonesia dalam pertemuan tersebut.
Pertemuan yang difasilitasi ARUKI ini menunjukkan bahwa masyarakat sipil, termasuk buruh, siap berdialog dengan perspektif berbasis fakta lapangan sekaligus didukung bukti ilmiah terkini. Dengan demikian, proses legislasi RUU Pengelolaan Perubahan Iklim tidak hanya responsif terhadap kebutuhan rakyat, tetapi juga berintegritas sains.
SERBUK Indonesia menegaskan: buruh tidak boleh ditinggalkan dalam setiap upaya pengelolaan perubahan iklim.